70 Persen Pembeli Satwa Liar Ilegal adalah Komunitas Hobi

Reading time: 2 menit
satwa liar
Ilustrasi: Istimewa

Jakarta (Greeners) – Komunitas penghobi dan pecinta binatang liar yang menjadikan satwa liar dilindungi menjadi satwa peliharaan memiliki porsi keterlibatan yang sangat besar sebagai pasar dalam rantai perdagangan ilegal satwa liar dilindungi, khususnya melalui sosial media.

Program Manager Wildlife Crime Unit World Conservation Society Indonesia (WCS) Dwi Nugroho Adhiasto kepada Greeners mengatakan bahwa setidaknya 78 persen pemesan satwa liar dilindungi melalui internet dilakukan oleh komunitas hobi ini. Jenis-jenisnya pun beragam, mulai dari kulit harimau offset-an, kepala rusa sampai gading gajah yang banyak digunakan untuk hiasan atau koleksi.

BACA JUGA: Semua Pihak Harus Peduli pada Keberlangsungan Satwa Liar Indonesia

Biasanya komunitas hobi atau kolektor ini dilakukan oleh orang-orang cerdas yang cukup berpendidikan. Bahkan, katanya, tidak sedikit juga yang memiliki grup chatting khusus untuk membahas satwa-satwa ini. Jumlahnya pun sebenarnya kecil-kecil namun banyak dan menyebar. Menurut Dwi, kelompok orang-orang seperti ini sudah melek dengan internet dan media sosial. Hanya saja, pengetahuan tentang satwa liar dilindungi masih minim.

“Paling banyak memang anak muda, mahasiswa, pelajar. Ditambah mereka melek internet. Mereka senang untuk peliharaan di rumah. Ini yang terbesar porsinya. Mereka melek internet, tahu caranya menghubungi penjual, ya sudah, terfasilitasilah,” jelasnya, Jakarta, Selasa (10/10).

Selain itu, media sosial Facebook sendiri masih menjadi favorit untuk melakukan pejualan. Selain karena akomodatif, media sosial ini banyak digunakan hingga ke masyarakat di daerah. Jika diblokir pun, pelaku bisa saja membuat akun baru lagi yang menyulitkan pelacakan. Rantai perdagangan dari media sosial sendiri dimulai dari pemesan mencari pesanannya yang di pamerkan oleh penjual. Setelah itu, pemesan menghubungi penjual, lalu penjual menghubungi ulang si pemesan melalui telepon atau pesan singkat. Setelah itu penjual memverifikasi para pemesan untuk menghindari polisi. Jika sudah cocok, penjual akan memberikan rekening bersama milik para penjual satwa liar.

BACA JUGA: Pemelihara Satwa Liar Dilindungi Secara Ilegal Belum Ditindak Tegas

Bertumbuhnya pengguna sosial media juga menjadi faktor yang sangat berpengaruh cukup besar pada tren modus perdagangan ilegal satwa liar dilindungi. Selain sebagai respon terhadap perkembangan teknologi informasi, ada beberapa alasan pula mengapa situasi tren perdagangan melalui daring ini semakin marak terjadi di Indonesia. Selain karena perdagangan secara daring dirasakan lebih aman, satwanya pun tidak harus benar-benar ada. Pedagang pun tidak perlu membuka toko, menyewa tempat dan cakupan penjualan lebih meluas hingga internasional.

“Berdagang lewat internet jauh lebih simpel dan aman. Ini yang membuat perdagangan melalui internet semakin meningkat,” tambahnya.

Menurut data dari Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS), jejaring PISL secara daring ini telah menjangkau setidaknya 15 negara di Asia, Afrika, Eropa, hingga Amerika Latin dengan transaksi paling banyak melalui aplikasi Facebook, Blackberry Messenger, Twitter dan Instagram. WCS sendiri secara aktif menangani kasus PISL pertamakali pada tahun 2011 bekerjasama dengan Bareskrim Polri. “Hingga kini, kasus yang ditangani sebanyak 41 kasus dengan proses investigasi yang dilakukan di lima provinsi yang melibatkan 51 tersangka,” tutupya.

Penulis: Danny Kosasih

Top