Badan Otoritas Pariwisata Dianggap Merampas Wilayah Kelola Masyarakat

Reading time: 2 menit
badan otoritas pariwisata
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Tahun 2017, Pemerintah telah menargetkan pembentukan Badan Otoritas Pengelola Kawasan Pariwisata secara menyeluruh. Hal ini dianggap penting seiring dengan mulai masuknya investasi di 10 kawasan destinasi pariwisata unggulan. Hingga saat ini, dari 10 destinasi wisata prioritas, baru Danau Toba yang telah memiliki Badan Otoritas tersebut.

Selain itu, dari 10 lokasi, tujuh diantaranya adalah wilayah pesisir, yaitu: 1) Kepulauan Seribu, DKI Jakarta; 2) Tanjung Lesung, Banten; 3) Tanjung Kelayang, Bangka Belitung; 4) Mandalika, Nusa Tenggara Barat; 5) Labuan Bajo, Nusa Tenggara Barat; 6) Wakatobi, Sulawesi Tenggara; 7) Morotai, Maluku Utara.

Hanya saja, proyek pembangunan pariwisata di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang semakin masif dilakukan oleh pemerintah dengan mengesahkan Badan Otoritas Pariwisata (BOP) mendapatkan penolakan keras dari masyarakat karena dinilai akan merampas tanah dan wilayah kelola masyarakat. Sebagai contoh, di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, masyarakat secara terang-terangan menolak BOP dan akan membakar draf Peraturan Presiden mengenai BOP di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

BACA JUGA: Kemenko Maritim Targetkan Penanganan Sampah Plastik di Lima Destinasi Wisata Prioritas

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati mengatakan bahwa dampak buruk lain dari penetapan BOP adalah menjadikan masyarakat pesisir sebagai objek penderita semata. BOP, menurutnya, memposisikan wisatawan pada khususnya mancanegara, sebagai tuan yang harus dilayani. Sementara masyarakat lokal diposisikan sebagai buruh.

“Sampai dengan tahun 2016, pemerintah telah menargetkan 11.800.000 orang tenaga kerja pariwisata tersertifikasi. Dengan kata lain, BOP secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong proses alih profesi masyarakat pesisir menjadi buruh industri pariwisata,” jelas Susan, Jakarta, Kamis (19/10).

Menurut Susan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa hampir seluruh proyek pembangunan pariwisata di wilayah pesisir tidak memberikan dampak positif apapun bagi masyarakat pesisir. Sebaliknya, masyarakat justru dirugikan bahkan diusir dari ruang penghidupannya. Hal ini dapat ditemukan di wilayah Gili Sunut, Lombok Timur, dimana 109 Kepala Keluarga nelayan diusir dan dipindahkan ke tempat lain yang jauh dari wilayah tangkapannya.

“Yang menjadi masalah lagi, keterlibatan masyarakat hanya sebatas formalitas semata. Artinya, relasi yang dibangun lebih kurang seperti majikan dan buruh,” tambahnya.

BACA JUGA: Danau Toba dan Pulau Seribu Jadi Target Destinasi Wisata Unggulan

Sebagai informasi, Kementerian Pariwisata menargetkan pembentukan Badan Otoritas Pariwisata untuk sepuluh destinasi wisata. BOP ini nantinya akan mengelola destinasi di luar Bali sebab Bali dianggap sudah terlalu ramai. Pembentukan BOP ini dilakukan dalam rangka mewujudkan single destination single management untuk setiap tujuan wisata.

Penentuan sepuluh destinasi ini juga dilakukan dengan sejumlah pertimbangan khusus. Dari sepuluh daerah wisata, lima di antaranya merupakan destinasi yang tinggal direvitalisasi. Daerah ini adalah Danau Toba, Pulau Komodo, ‎dan Candi Borobudur. Sementara, tiga lainnya masuk dalam Kawasan Ekonomi Khusus. Destinasi ini adalah Tanjung Lesung, Mandalika, dan Pulau Morotai. Dari sepuluh destinasi ini juga terdapat nama baru yakni Tanjung Kelayan di Bangka Belitung.

Penulis: Danny Kosasih

Top