Banjir Rasa Korupsi di Kota Malang

Reading time: 3 menit
banjir
Foto: greeners.co/Hari Istiawan

MALANG (Greeners) – Kota Malang dikenal sebagai kota tujuan wisata. Berada di dataran tinggi antara 440-667 meter di atas permukaan laut dan berada di antara berbagai gunung api membuat kota ini bisa dikatakan mustahil terkena musibah banjir ketika musim hujan. Namun, kondisi itu bisa kita jumpai saat ini atau sejak sepuluh tahun terakhir.

Kuantitas banjir di beberapa titik di Kota Malang kian meningkat dan airnya pun semakin lama surut. Setidaknya kondisi ini yang digambarkan aktivis lingkungan di Kota Malang yang terdiri dari perwakilan warga, Walhi Jatim, serta Malang Corruption Watch (MCW).

Dewan Daerah Walhi Jawa Timur Purnawan D Negara menyampaikan, permasalahan banjir di Kota Malang akhir-akhir ini tidak bisa disebut karena curah hujan yang tinggi saja. Namun, terdapat beberapa persoalan lain yang juga menjadi penyebabnya.

Purnawan mencatat, setidaknya ada beberapa penyebab kawasan di dataran tinggi ini bisa terjadi banjir. Yang pertama adalah banyaknya alih fungsi lahan, terutama ruang terbuka hijau yang kini sudah menjadi pemukiman elit dan pertokoan modern.

“Keberadaan perumahan elit Ijen Nirwana, Ijen Suite Hotel, Malang Town Square (Matos), Mall Olimpic Garden (MOG) dan beberapa bangunan besar lain telah mengganti fungsi lahan yang dulunya menjadi ruang terbuka hijau sekaligus sebagai serapan air,” kata Purnawan yang juga Dosen Hukum Lingkungan, Universitas Widyagama, Malang, Rabu (30/11/2016).

BACA JUGA: LIPI: Penggunaan Bambu Lebih Tepat Atasi Banjir Dibanding Betonisasi

Menurutnya, tak hanya alih fungsi lahan terbuka hijau yang dampaknya kini dirasakan masyarakat. Ia menyebut, banyak proses alih fungsi lahan di Kota Malang menjadi mall, hunian elit, pertokoan, dan hotel yang menyisakan masalah.

Purnawan menyontohkan, alih fungsi lahan APP Lambau (Bumi Tanjung) menjadi hunian elit Ijen Nirwana dan hotel pernah menimbulkan konflik serta penolakan dari warga. Hal yang sama juga terjadi terkait alih fungsi lahan APP menjadi Matos. Alih fungsi itu dulunya mendapat penolakan yang keras dari masyarakat, aktivis dan utamanya mahasiswa. Alih fungsi itu juga menyisakan persoalan tukar guling yang terindikasi korupsi.

Proyek pembangunan drainase di Kota Malang juga menyisakan banyak masalah. Fahrudin dari Malang Corruption Watch (MCW) menyebutkan, pengerjaan drainase dengan Jacking System di Jalan Bondowo misalnya, tidak memberikan dampak terhadap penyelesaian banjir. “Proyek dengan anggaran fantastis tersebut justru terindikasi korupsi, yaitu mulai dari proses perencanaan, penetapan dan pelaksanaan,” kata Fahrudin.

Data MCW menyebutkan, pada tahun 2013 anggaran pengerjaan tiba-tiba muncul dan ditetapkan sebesar Rp 40 miliar dalam APBD 2013, padahal sebelumnya proyek tersebut tidak masuk dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD 2013). Dan dalam APBD 2014 kembali dianggarkan sebesar Rp 16 miliar.

Berdasarkan Audit BPK TA 2013, PT Citra Gading Astritama (CGA) belum menyelesaikan pengerjaannya sesuai dengan pembayaran yang telah diberikan oleh Pemerintah Kota Malang. Akibatnya, Pemerintah Kota Malang diduga merugi hingga Rp 1,1 miliar dan pada tahun 2014 anggaran Rp 16 miliar yang sudah dianggarkan juga tidak terpakai.

BACA JUGA: Banjir Jawa Barat Bukan Karena Curah Hujan yang Tinggi

MCW kembali mendata, anggaran pengerjaan drainase tidak berbanding lurus dengan berkurangnya permasalahan banjir. Pada tahun 2015 anggaran untuk pengerjaan drainase/gorong-gorong sebesar Rp 12 miliar dan meningkat lagi dalam anggaran tahun 2016 sebesar 42 miliar.

“Anehnya, terdapat banyak pembangunan drainase, tetapi justru wilayah yang dibangun tersebut menjadi langganan banjir, di antaranya di Jalan MT Haryono, Jalan Pasar Besar, Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Galunggung, Jalan Sigura-gura, dan beberapa daerah lainnya,” kata Fahrudin.

Purnawan mendesak Pemerintah Kota Malang mengevaluasi penataan kota, terutama pembangunan infrastruktur kota serta pemberian izin pendirian bangunan agar tidak menyalahi aturan. “Banjir di Kota Malang ini banjir rasa korupsi,” kata Purnawan.

Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Dr. Ir. Pitojo Tri Juwono, MT, dalam pemaparannya di kampus UB menyampaikan, sudah saatnya pembangunan di Kota Malang tidak menimbulkan banjir dengan konsep pembangunan berwawasan lingkungan. Salah satu yang disoroti oleh Pitojo adalah pembetonan drainase-drainase sehingga air banyak yang melimpas ke luar dan sebagian tidak terserap.

BACA JUGA: Antisipasi Banjir, Dinas Tata Air Jakarta Akan Tambah Petugas Tata Air

Menurutnya, perlu pembenahan sistem drainase kota dengan memperbanyak resapan dan menyiapkan saluran drainase yang terkoneksi dengan baik mulai dari tersier sampai ke badan sungai sebagai main drain. “Semaksimal mungkin RTRW dan segala regulasi didasarkan pada semangat mempertahankan dan memfungsikan daerah terbuka hijau sebagai kawasan yang efektif resapan,” kata Pitojo.

Pitojo menyatakan, pertumbuhan penduduk dan pembangunan seiring dengan kebutuhan lahan yang meningkat menyebabkan ruang bebas yang tersedia berkurang. Diperlukan konsep drainase yang mampu mengurangi genangan dalam keterbatasan ruang dan meresapkan sebagian limpasan air ke dalam tanah.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) Kota Malang, Jarot Edy Sulistyono mengatakan, untuk mengatasi banjir di kawasan Jalan Bondowoso, Gadingkasri, Galunggung, dan daerah lainnya adalah gorong-gorong atau drainase sehingga air langsung ke Sungai Metro. “Proyek pembangunan gorong-gorong sudah berjalan tapi belum tahu kapan selesai,” kata Jarot.

Untuk saat ini, kata Jarot, pihaknya hanya akan melakukan normalisasi di kawasan tersebut. “Dalam waktu dekat mungkin hanya normalisasi,” ujarnya.

Penulis: HI/G17

Top