Blue Carbon Indonesia, Potensi Besar yang Belum Tergarap

Reading time: 2 menit
blue carbon indonesia
Ilustrasi: pixabay.com

Jakarta (Greeners) – Pada pelaksanaan Konferensi Para Pihak Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Konvensi Perubahan Iklim ke 22 (UNFCCC COP 22), Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan (KLHK) Nur Masripatin mengatakan bahwa peranan ekosistem pesisir dan laut Indonesia sebenarnya telah diakui baik dalam konvensi maupun Perjanjian Paris pada tahun yang lalu.

Selain itu, peranan ekosistem hutan juga telah dibahas sejak COP 11 di Montreal tahun 2005 dan diputuskan pada COP13 di Bali tahun 2007, sehingga dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang pertama, sektor lahan di Indonesia juga turut memasukkan peranan ekosistem daratan, yang di dalamnya termasuk ekosistem mangrove dan pesisir pantai.

BACA JUGA: KNTI Pertanyakan Inisiatif Pembiayaan Blue Carbon

Bagi Indonesia, menurut Nur, peranan blue carbon sangat berpotensi dalam mendukung program nasional penurunan emisi, ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, namun kompleksitas pengelolaan dan kapasitas pelaksanaannya masih memerlukan peningkatan dalam kajian untuk masa-masa mendatang.

“Sebagai negara yang memiliki pantai terpanjang kedua di dunia, kita perlu melihat bahwa kemitraan Blue Carbon Partnership sebagai sesuatu yang strategis karena peranan ekosistem pesisir dan laut dalam NDC yang pertama menyatakan bahwa Indonesia telah mengintegrasikan bentuk mitigasi dari sektor lahan,” katanya seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Sabtu (19/11).

Menurut Nur, masuknya peranan ekosistem pesisir dan laut dalam NDC pertama belum dinyatakan secara kuantitatif karena masih banyak hal teknis yang harus digarap. Setelah melalui perhitungan komprenshif dengan angka kuantitatif, lanjutnya, penghitungan dari blue carbon baru akan dimasukkan secara bertahap pada NDC mendatang.

BACA JUGA: DPR RI Dukung Proses Ratifikasi Paris Agreement

Dalam keterangan yang sama, Dr. Achmad Poernomo, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Perubahan Iklim, menyatakan bahwa saat ini Indonesia memiliki potensi mangrove seluas 3,11 juta hektare dan padang lamun seluas 3 juta hektare. Indonesia sendiri telah memiliki roadmap penelitian ekosistem pesisir dan laut dalam kerangka pengendalian perubahan iklim, hanya saja belum sampai pada implementasi dari hasil-hasil penelitian tersebut.

“Masih terdapat kesenjangan komunikasi antara pemegang kebijakan dan para peneliti, sehingga diperlukan komunikasi yang lebih intensif untuk dapat bersama-sama menyusun roadmap blue carbon Indonesia. Dalam pengelolaan yang berkelanjutan juga masih diperlukan adanya koordinasi antar kementerian dan pemangku kepentingan lainnya,” ungkap Achmad.

Sebagai informasi, para pemimpin dunia telah menyepakati COP 22 yang berlangsung di Maroko untuk membahas implementasi Perjanjian Paris sebelum dan pasca 2020. Salah satu jalur yang akan ditempuh dalam penurunan emisi dan adaptasi atas dampak perubahan iklim adalah melalui pertimbangan fungsi ekosistem laut dan mangrove. Dalam kerangka perubahan iklim sendiri, ada tiga ekosistem yang mendapat perhatian yaitu mangrove, padang lamun dan kawasan payau.

Penulis: Danny Kosasih

Top