Cacing dalam Produk Ikan Makarel Kaleng, Ini Penjelasan KKP dan LIPI

Reading time: 3 menit
ikan makarel
Ilustrasi ikan makarel kaleng. Foto: wikimedia

Jakarta (Greeners) – Setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merilis penjelasan terkait temuan cacing pada produk ikan makarel kemasan kaleng pada 22 Maret 2018 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Biotek turut memberikan penjelasan terkait masalah ini. Menurut Hari Eko Irianto, Kepala Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Biotek, penyebab adanya cacing dalam ikan makarel kemasan kaleng dikarenakan penggunaan bahan baku yang tidak teruji dengan baik dan pengelolaan makanan yang tidak steril.

“Penyebabnya yang jelas bukan karena kedaluwarsa tetapi bahan bakunya yang tidak teruji dengan baik saat proses produksi oleh perusahaan terkait, karena kami pernah meneliti 136 jenis ikan di laut kemudian ditemukan 32 ikan yang diperutnya ditemukan cacing,” kata Hari kepada Greeners melalui telepon, Jumat (30/03/2018).

BACA JUGA: Penangkapan Berlebihan Ancam Populasi Hiu dan Pari di Indonesia

Hari menjelaskan bahwa cacing dalam ikan makarel kemasan kaleng jika dipanaskan di hingga 80 derajat Celcius akan mati sehingga tidak berbahaya, hanya saja melanggar estetika makanan. Menurut Hari seharusnya produsen makanan ikan makarel dalam kemasan harus lebih steril dalam membersihkan ikan.

Beredarnya pemberitaan tentang cacing yang ditemukan dalam ikan makarel kemasan kaleng juga membuat KKP turut meneliti produk ini. Hasilnya, ditemukan satu sampel yang mengandung cacing. “Kami meneliti 50 sampel dari 7 merk dan hanya 1 sampel yang positif mengandung cacing. Ukurannya pun kecil, tidak bisa dilihat secara langsung harus dilihat melalui mikroskop,” kata Hari.

BACA JUGA: Inpres Nomor 3 Tahun 2017 Dorong BPOM Meningkatkan Pengawasan

Dihubungi secara terpisah, Peneliti Pencemaran Laut dan Bioremediasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Reza Cardova, menerangkan bahwa ditemukannya cacing dalam perut ikan merupakan hal biasa karena memang ada ikan yang memakan cacing.

“Kemungkinan terbesar ditemukannya cacing dalam ikan makarel dalam kemasan ialah pertama, ikan memakan cacing, lalu cacing tersebut punya telur di dalam tubuhnya dan menetas. Kedua, produsen tidak melakukan sterilisasi atau tidak bersih kemudian ada kontaminasi yang masuk ke dalam kemasan,” kata Reza.

ikan makarel

Sumber: www.pom.go.id

Dalam situs resmi BPOM, www.pom.go.id, dijelaskan sampai dengan tanggal 28 Maret 2018 BPOM telah melakukan sampling dan pengujian terhadap 541 sampel ikan dalam kemasan kaleng yang terdiri dari 66 merek. Hasil pengujian menunjukkan 27 merek (138 bets) positif mengandung parasit cacing, terdiri dari 16 merek produk impor dan 11 merek produk dalam negeri. Dominasi produk yang mengandung parasit cacing adalah produk impor. Diketahui bahwa produk dalam negeri bahan bakunya juga berasal dari impor.

Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito mengatakan, pelaku usaha yang sebelum diindikasi produknya mengandung cacing, saat ini sudah melakukan penarikan terhadap produk-produk ikan makarel dalam saus tomat kemasan kaleng ukuran 425 gr, yaitu merek Farmerjack, nomor izin edar (NIE) BPOM RI ML 543929007175, nomor bets 3502/01106 35 1 356, merek IO, NIE BPOM RI ML 543929070004, nomor bets 370/12 Oktober 2020, dan merek HOKI, NIE BPOM RI ML 543909501660, nomor Bets 3502/01103/-.

“Berdasarkan temuan tersebut, BPOM RI telah memerintahkan kepada importir dan produsen untuk menarik produk dengan bets terdampak dari peredaran dan melakukan pemusnahan. Selain itu, untuk sementara waktu 16 (enam belas) merek produk impor tersebut di atas dilarang untuk dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dan 11 (sebelas) merek produk dalam negeri proses produksinya dihentikan sampai audit komprehensif selesai dilakukan,” ujar Penny.

Ia juga mengimbau agar masyarakat lebih cermat dan hati-hati dalam membeli produk pangan. “Pastikan kemasannya dalam kondisi utuh, baca informasi pada label, pastikan memiliki izin edar dari BPOM RI, dan tidak melebihi masa kedaluwarsa,” pungkasnya.

Penulis: Dewi Purningsih

Top