Catatan Akhir Tahun AMAN, Agenda Prioritas Masyarakat Adat Tidak Berjalan

Reading time: 3 menit
Foto: Ist.

Jakarta (Greeners) – Hingga penghujung tahun 2015, hampir semua agenda prioritas terkait masyarakat adat dinilai tidak berjalan. Tidak masuknya RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) ke dalam Prolegnas 2015, masih lemahnya posisi masyarakat adat di hadapan hukum Indonesia serta Satgas Masyarakat Adat yang hingga saat ini belum dibentuk merupakan beberapa hal diantaranya.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan selalu meneguhkan komitmennya terhadap masyarakat adat, namun “pembantu-pembantu Presiden” justru belum melaksanakan Nawacita yang telah ditetapkan. Padahal, Nawacita telah berusia lebih dari satu tahun lamanya.

“Sesungguhnya enam prioritas masyarakat adat di dalam Nawacita itu masih ‘jauh panggang dari api’ sedangkan yang tersaji di depan mata sesungguhnya hanyalah perubahan kecil yang ada di permukaan. Belum ada perubahan besar dan bersifat fundamental terutama berhubungan dengan keenam komitmen Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagaimana digariskan di dalam Nawacita yang juga merupakan visi misi Presiden dan Wakil Presiden atau visi dan misi Pemerintahan,” tuturnya kepada Greeners, Jakarta, Senin (28/12).

Selama tahun 2015, AMAN mencatat bahwa ada suatu iklim baru yang ditunjukkan oleh Pemerintah. Sebagai contoh, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menetapkan status legal atas beberapa kawasan hutan adat. Kementerian ini juga membuka ruang-ruang pengaduan bagi masyarakat termasuk masyarakat adat. Meski demikian, AMAN mencatat bahwa pemerintah, termasuk di dalamnya KLHK, terlampau sibuk dengan urusan-urusan yang kecil dan parsial hingga melupakan hal-hal besar dan bersifat fundamental.

Hingga Agustus 2015, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) bersama AMAN dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) sudah menyerahkan 604 peta wilayah dengan total luas mencapai 6,8 juta ha kepada pemerintah melalui KLHK dan berencana akan menyerahkan kembali 665 peta wilayah adat dengan luasan 7,4 juta ha.

“Namun, tantangan dalam proses ini adalah adanya “keharusan” pengakuan masyarakat adat sebagai pemilik atas wilayah (hutan) adat melalui Perda. Selain itu, pemerintah belum memutuskan lembaga yang akan menjadi wali data peta wilayah adat, demikian juga dengan belum adanya mekanisme untuk mengintegrasikan peta wilayah adat dalam One Map,” tambahnya.

Kepala Badan Registrasi Wilayah (BRWA) BRWA Kasmita Widodo mengungkapkan bahwa Presiden harus segera menunjuk wali data peta wilayah adat supaya agenda One Map dapat dijalankan. Sepanjang tahun 2015, proses legalisasi peta wilayah adat ini juga dilakukan melalui Badan Informasi Geospasial (BIG), namum proses ini juga belum menemukan titik terang.

“Ini jalannya masih buntu untuk memastikan wilayah adat masuk dalam One Map Policy bisa berjalan,” ujarnya.

Sementara itu, tahun 2015 adalah tahun legislasi daerah di mana banyak gerakan masyarakat adat secara intensif mendorong DPR dan pemerintah daerah agar segera membuat produk hukum terkait pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat dan hak-haknya.

Beberapa kabupaten yang telah memasukkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat ke dalam Program Legislasi Daerah untuk tahun 2015, antara lain adalah Kabupaten Luwu di Sulawesi Selatan, Kabupaten Bulungan di Kalimantan Timur, Kabupaten Ende di Flores-NTT, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Lebak di Jawa Barat, Kabupaten Enrekang di Sulawesi Selatan, dan Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan, dan Kabupaten Halmahera Tengah di Maluku Utara.

Pada akhir tahun 2015 ini, tercatat dua kabupaten telah menetapkan Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, yaitu Kabupaten Lebak dan Kabupaten Bulukumba. Sementara sisanya masih terus berproses dan akan ditetapkan pada tahun 2016.

Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyatakan akan memasukkan anggaran untuk memfasilitasi pembentukan Peraturan Daerah sebagai turunan dari implementasi putusan MK 35 tentang pengakuan hutan adat pada daftar isian penggunaan anggaran (dipa) anggaran tahun 2016. Hadi Daryanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK menyatakan bahwa daerah memang masih belum memiliki anggaran terkait hal tersebut.

“Jadi masalahnya memang di budget atau anggaran. Umumnya, anggaran itu ada hanya untuk sosial, pendidikan, dan lainnya. Untuk lingkungan hampir enggak ada,” ujar Hadi saat menghadiri acara Climate Art Day di Taman Hutan Manggala Wanabhakti, KLHK, Jakarta, pada Sabtu (12/12) lalu.

Penulis: Danny Kosasih

Top