Dampak Perubahan Iklim, Petani dan Nelayan Juga Perlu Asuransi

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: pixabay.com

Jakarta (Greeners) – Berdasarkan catatan Data dan Informasi Bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selama 10 tahun terakhir bencana yang ikut diakibatkan oleh perubahan iklim masih terbilang tinggi. Upaya perlindungan masyarakat kecil terhadap risiko loss and damage akibat dampak perubahan iklim ini dapat dilakukan dengan sistem asuransi terintegrasi yang mana salah satu keuntungannya adalah memberikan jaminan penggantian bagi petani yang mengalami gagal panen karena bencana yang disebabkan perubahan iklim.

“Konsep asuransi indeks iklim ini tidak fokus pada jaminannya akan tetapi pada upaya mendorong petani menggunakan teknologi yang adaptif terhadap perubahan iklim dan berdaya hasil tinggi,” ungkap Rizaldi Boer, salah satu anggota dewan Indonesia Climate Alliance (ICA) dari CCROM, seperti dikutip dari keterangan resmi yang di terima Greeners, Jakarta, Jumat, (02/12).

Melalui konsep ini, lanjutnya, jika iklim bersahabat maka petani yang menerapkan teknologi adaptif akan mendapatkan hasil yang tinggi. Namun, jika terjadi bencana karena iklim, petani tersebut dapat dilindungi oleh asuransi.

BACA JUGA: Pemerintah Daerah Harus Serius Rancang Program Adaptasi Mitigasi Perubahan Iklim

Rizaldi menjelaskan bahwa loss and damage adalah dampak sisa yang timbul dari upaya mitigasi dan adaptasi yang sudah dilakukan. “Jika proses adaptasi dan mitigasi sudah dilakukan dan masih ada dampak dari bencana perubahan iklim, itulah loss and damage,” ujarnya.

Sebagai sebuah bentuk asuransi terintegrasi, beberapa pihak harus ikut berkontribusi dan bersinergi dalam pelaksanaannya dan selayaknya dipayungi payung hukum kebijakan. Pendanaan mikro diperlukan untuk memudahkan petani mengakses teknologi adaptif. Selain itu, dibutuhkan fasilitator yang dapat mendampingi petani dalam menggunakan dan mendapatkan manfaat dari teknologi itu.

Sementara itu, Hendra Yusran Siry dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa lembaganya sudah menjalankan konsep asurani untuk melindungi para nelayan dari risiko bencana karena perubahan iklim. “Nelayan memang paling sering mengalami dampaknya,” katanya.

BACA JUGA: Menanam Untuk Kebutuhan Keluarga, Solusi Ketahanan Pangan Indonesia

Hendra memaparkan, pada tahun 2016 sudah ada 600.000 nelayan yang diasuransikan. Jaminan yang diberikan oleh asuransi ini meliputi kematian, cacat tetap, dan pengobatan. Nilai asuransi yang dibayarkan ketika nelayan menjadi korban bencana, seperti kapal tenggelam atau lainnya adalah mulai dari Rp20 juta hingga Rp200 juta. Saat ini, total dana yang disiapkan untuk asuransi ini adalah sekitar Rp175 miliar. “Penerimannya adalah nelayan kecil,” tambahnya.

Berdasarkan catatan Data dan Informasi Bencana dari BNPB, selama 10 tahun terakhir bencana yang ikut diakibatkan oleh perubahan iklim masih terbilang tinggi. Sepanjang tahun 2006 sampai 2016, banjir masih mendominasi dengan nilai 31,7 persen dari seluruh bencana yang terjadi di Indonesia. Pada urutan kedua ditempati oleh puting beliung sebesar 23 persen, kemudian tanah longsor sebesar 18,1 persen.

Dari sumber data yang sama, jumlah kejadian bencana yang berhubungan dengan perubahan iklim hingga Oktober 2016 juga masih tinggi. Tercatat kejadian banjir hingga 639 kali, lalu disusul dengan puting beliung sebanyak 536 kali, dan tanah longsor sebanyak 464 kali.

Penulis: (*)

Top