Dilaporkan Pospera, Aktivis Penolak Reklamasi Benoa Dapat Dukungan 176 Advokat

Reading time: 2 menit
pospera
Ketua Tim Hukum ForBALI I Made Ariel Suardana (duduk, ketiga dari kiri) menyatakan upaya kriminalisasi pada Gendo adalah upaya pemecah belah gerakan rakyat penolak Reklamasi Teluk Benoa. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Dukungan hukum untuk koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI), I Wayan “Gendo” Suardana, terus meluas. Selain datang dari 39 desa adat yang ada di Bali, dukungan juga datang dari 176 advokat dari Jakarta dan Bali yang menamakan dirinya sebagai Tim Advokasi Kriminalisasi Gendo Tolak Reklamasi.

Ketua Tim Hukum ForBALI I Made Ariel Suardana mengatakan penggunaan pasal 28 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Ras dan Etnis sebagai dasar pelaporan Pospera sangat tidak relevan. Pasalnya, tudingan Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) tersebut merupakan tafsir yang salah konteks dan teks dari cuitan Gendo di twitter.

“Ini seperti ada penyimpulan, upaya kriminalisasi pada Gendo adalah upaya pemecah belah gerakan rakyat penolak Reklamasi Teluk Benoa dengan membawa-bawa isu ras dan etnis,” jelasnya, Jakarta, Rabu (24/08).

BACA JUGA: Aksi Damai Tolak Reklamasi Teluk Benoa Bali Digelar di Jakarta

Sebelumnya, Pospera melalui Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) telah melaporkan Gendo ke polisi. Dalam laporan sesuai tanda bukti lapor Nomor TBL/584/VIII/2016/Bareskrim, DPP Pospera menuduh Gendo telah menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan atau pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE dan pasal 16 UU Penghapusan Ras dan Etnis.

Laporan tersebut, terusnya, menyusul cuitan (tweet) Gendo melalui akun @gendovara pada 19 Juli 2016 yang berbunyi “Ah, muncul lagi akun2 bot asuhan pembina pos pemeras rakyat si napitufulus sok bela2 susi. Tunjukin muka jelekmu nyet.”

Cuitan yang dilontarkan Gendo sendiri, menurutnya, adalah untuk merespon perusakan terhadap alam Bali. Namun Pospera tiba-tiba melaporkan bahwa nama baiknya dicemarkan dan melaporkan isu SARA terkait dengan Napitufulus, yang ditafsirkan sebagai orang Batak oleh Pospera.

“Ini bisa disebut sebagai upaya penjegalan, menyandera, memberhentikan gerakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa dan target itulah yang sedang dilakukan oleh oknum-oknum Pospera,” jelasnya.

BACA JUGA: Kajian Amdal PT TWBI untuk Teluk Benoa Sudah 60 Persen

Terkait penggunaan UU ITE sebagai dasar pelaporan, Direktur Eksekutif Yayasan Satu Dunia Firdaus Cahyadi mengatakan bahwa kriminalisasi warga melalui pasal karet pencemaran nama baik menggunakan UU ITE masih menjadi ancaman dalam proses kebebasan berpendapat. Setelah aktivis KontraS, Haris Azhar, kini giliran aktivis yang menentang reklamasi Teluk Benoa.

Menurut Firdaus, kriminalisasi terhadap warga yang mengutarakan pendapatnya melalui internet dengan pasal karet pencemaran nama baik ini akan terus berlanjut. Selama pasal karet pencemaran nama baik itu masih ada, selama itu pula potensi kriminalisasi terhadap warga pengguna internet akan terus terjadi.

“Tahun ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Revisi UU ITE sudah dibahas di parlemen. Semula kita berharap pembahasan revisi UU ITE ini mampu menghentikan kriminalisasi warga pengguna internet. Namun, seiring waktu berjalan, harapan itu tampaknya sulit terwujud,” katanya.

Penulis: Danny Kosasih

Top