ICW: Perbedaaan Data Produksi Kayu Sebabkan Negara Merugi

Reading time: 2 menit
icw
Kepala Proyek Divisi Riset ICW Siti Juliantari (kedua dari kanan) menyatakan negara seharusnya memiliki potensi penerimaan anggaran sebesar Rp 3,6 triliun dari sektor kehutanan. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Indonesian Corruption Watch (ICW) merasa kesulitan dalam melakukan riset budget tracking pada sektor kehutanan. Tim riset ICW pun menyatakan kesulitan mendapatkan data produksi kayu dari pemerintah pusat maupun daerah. Padahal, data penghitungan produksi dapat memengaruhi besaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam Kehutanan yang berasal dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).

Kepala Proyek Divisi Riset ICW Siti Juliantari mengatakan, Indonesia kemungkinan mengalami kerugian sebesar Rp 1,3 triliun pada sektor PSDH karena ketidaksesuaian pencatatan dan penghitungan data produksi SDA Kehutanan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

BACA JUGA: SVLK Jawaban Atas Bisnis Kehutanan yang Berkelanjutan

Menurut Siti, negara seharusnya memiliki potensi penerimaan anggaran sebesar Rp 3,6 triliun dari PSDH dan Rp 5 triliun dari DR jika melihat perbandingan data antara LKPP dan BPS. Namun, selama tiga bulan ICW melakukan penelusuran dana kehutanan, yang berhasil ditemukan adalah adanya ketidaksesuaian antara data penghitungan produksi kayu KLHK, LKPP, dan BPS.

“Hasil temuan ICW memaparkan, berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2012-2014, negara hanya menerima Rp 2,5 triliun dari PSDH dan Rp 5,090 triliun dari DR,” katanya, Jakarta, Kamis (28/07).

Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Juandi menambahkan, dari temuan BPK diketahui bahwa KLHK masih sangat lemah dalam pengawasan terhadap pengelolaan, penghitungan, dan pendataan PNBP SDA Kehutanan, baik pada lembaganya sendiri dan daerah.

BACA JUGA: Luasan Moratorium Hutan Bertambah 191.706 Hektare

Ia memperkirakan, lemahnya pengawasan KLHK dikarenakan faktor otonomi daerah yang membuat pemerintah daerah merasa tidak harus melaporkan pendapatan bukan pajak SDA Kehutanan kepada pemerintah pusat.

Padahal seharusnya, terus Juandi, setiap kota/kabupaten wajib menyerahkan Laporan Realisasi Penyetoran Iuran Kehutanan (LRPIK) dan Laporan Gabungan Realisasi Penyetoran Iuran Kehutanan (LGRPIK) secara berjenjang dari kabupaten, ke provinsi, dan ke KLHK.

“Sayangnya, dari 34 provinsi, hanya ada 10 provinsi yang menyampaikan LGRPIK walaupun tidak secara rutin setiap bulannya. Sedangkan provinsi lain tidak pernah menyampaikan LGRPIK sepanjang tahun 2015,” tutupnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top