Implementasi Poros Maritim, Kesejahteraan Nelayan Masih Terpinggirkan

Reading time: 2 menit
nelayan
Foto: nadj91/pixabay.com

Jakarta (Greeners) – Dua tahun sudah perjalanan Poros Maritim dicanangkan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sejak disampaikan di hadapan wakil rakyat di MPR dan disampaikan kembali di depan kepala Negara ASEAN. Namun, Koalisi Rakyat untuk Perikanan (KIARA) menilai perhatian terhadap nelayan sebagai pilar utama Poros Maritim masih minim.

KIARA mencatat, pada tahun 2016, konflik ruang kelola laut dan pesisir masih marak. Telah terjadi 16 kasus reklamasi, 17 kasus privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil, 18 kasus pertambangan, serta 40 kasus penangkapan nelayan cantrang.

“Meski secara tegas dinyatakan bahwa Pilar Utama Poros Maritim, namun kelemahan dalam kebijakan, implementasi dan strategi pemerintah sangatlah nyata. Koordinasi dan harmonisasi kebijakan antar instansi, baik antar kementrian maupun antara pusat dan daerah, tidak terjadi di lapangan. Sehingga sangatlah wajar Poros maritim menjadi tak tentu arah, bahkan seringkali dipakai alasan untuk semakin menyingkirkan masyarakat pesisir,” tutur Armand Manila, Pelaksana Sekretaris Jenderal KIARA, Kamis (12/01/2017).

BACA JUGA: Percepat Poros Maritim, KKP Genjot Pembangunan SKPT di 15 Lokasi

Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi KIARA (2016), privatisasi dan komersialisasi melalui proyek reklamasi di 16 wilayah pesisir telah membuat 107.361 lebih kepala keluarga (KK) terusir dari tempat penghidupannya. Ke 16 wilayah pesisir tersebut diantaranya Teluk Jakarta di Jakarta, Pantai Swering di Maluku, Pantai Marina di Jawa Tengah, Pesisir Manado di Sulawesi Utara, dan Teluk Benoa di Bali.

“Poros Maritim Jokowi-JK tak tentu arah ketika keluarga nelayan terusir dari lautnya sendiri. Hal ini diperburuk dengan belum diakuinya perempuan nelayan sebagai subjek hukum di perundang-undangan Indonesia sehingga mereka tidak mendapatkan dukungan yang mencukupi dari negara,” kata Armand.

Pelestari Ekosistem Pesisir Semarang, Muchamad Aripin, menyatakan, kasus reklamasi dan pengurukan lahan tambak juga terjadi di kecamatan Tugu, Kota Semarang khususnya Pesisir Dukuh Tapak meskipun baru mengantongi izin prinsip hak penguasaan atas lahan yang diberikan oleh Walikota Semarang.

“Semarang itu identik dengan banjir yang terjadi setiap tahun. Jika reklamasi terus dilakukan, bisa jadi Semarang akan tenggelam. Dapat dibayangkan dampak buruk yang akan terjadi jika tanah diuruk lalu ditimbun ke laut,” ujar Muchamad Aripin.

BACA JUGA: Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta Tolak Pengesahan Dua Raperda Reklamasi

Selain masalah reklamasi, KIARA juga menyatakan perlindungan Negara bagi pekerja perikanan masih minim sehingga pekerja perikanan rentan menjadi korban perbudakan di atas kapal. Menurut Pusat Data dan Informasi KIARA (2016), 92% persoalan dialami oleh ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan dan hanya 8% persoalan yang dialami oleh pekerja yang bekerja di kapal niaga.

Menurut Armand Manila, kehadiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, seharusnya bisa menjadi sarana bagi masyarakat pesisir untuk sejahtera dan berdaulat atas hak konstitusionalnya.

“Sudah saatnya Pemerintah Republik Indonesia menggembalikan arah poros maritim sesuai dengan mandat yang diberikan oleh rakyat Indonesia. Presiden Jokowi harus berani mengevaluasi, bahkan menghentikan seluruh proyek pembangunan yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir,” pungkasnya.

Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menyatakan ingin mengembalikan kejayaan laut Indonesia. Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam pidato pelantikannya menjadi Presiden Republik Indonesia di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pernyataan ini pun ia sampaikan kembali pada Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN di Myanmar pada 13 November 2014 lalu.

Presiden Jokowi menyatakan Indonesia akan menjadi Poros Maritim Dunia berdasarkan 5 pilar, yakni: (1) Membangun kembali budaya maritim Indonesia; (2) Menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama; (3) Memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim; (4) Menerapkan diplomasi maritim; dan (5) Membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

Penulis: Renty Hutahaean

Top