Kegiatan Transportasi Menjadi Faktor Utama Penilaian Kualitas Udara Perkotaan

Reading time: 2 menit
kualitas udara perkotaan
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan public ekspose hasil Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan 2016 beberapa waktu lalu. Terkait hasil ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengatakan, dewasa ini kualitas udara di berbagai kota ditentukan oleh potensi pencemaran udara akibat kegiatan transportasi yang semakin meningkat.

Diperkirakan pada tahun 2020, setengah dari penduduk Indonesia akan tinggal di daerah perkotaan. Pertambahan penduduk itu berdampak pula pada peningkatan transportasi. Pertumbuhan kendaraan yang mencapai 12 persen per tahun dengan komposisi terbesar sepeda motor, tidak hanya menimbulkan masalah kemacetan lalu lintas tetapi juga masalah lain seperti kecelakaan lalu lintas, polusi udara dan kebisingan.

“Tujuh puluh persen pencemaran di perkotaan dihasilkan oleh sektor transportasi. Akibat tingginya penggunaan bahan bakar fosil pada sektor transportasi, sektor ini juga bertanggungjawab untuk emisi gas rumah kaca yang berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global,” terangnya kepada Greeners, Jakarta, Sabtu (24/12).

BACA JUGA: 14 Tahun Car Free Day, Pemrov DKI Akan Tambah Lokasi Pelaksanaan

Untuk mengatasi masalah tersebut, Siti menyatakan bahwa perencanaan transportasi yang lebih berwawasan lingkungan tanpa harus mengurangi aktifitas ekonomi serta sosial masyarakat perkotaan menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan.

Rencana strategis dan aksi untuk mendorong dan mewujudkan transportasi ramah lingkungan di wilayah perkotaan harus terus dilakukan. Prinsip transportasi ramah lingkungan ini tetap mendorong mobilitas dan aksesibilitas perkotaan yang berkualitas sedemikian rupa, tetapi tidak memberikan beban tambahan pada ekonomi dan dampak negatif pada lingkungan serta kesehatan.

Upaya untuk mempromosikan transportasi yang ramah lingkungan akan menghasilkan tidak saja perlindungan kesehatan manusia melalui pengurangan pencemaran udara perkotaan, tetapi juga akan memberikan manfaat dari pengurangan gas rumah kaca.

“Transportasi ramah lingkungan juga menciptakan kebiasaan sehat dengan memberikan pilihan transportasi kendaraan tidak bermotor sebagai moda transportasi,” ujarnya.

BACA JUGA: KLHK: Indonesia Mulai Masuki Musim Krusial Kebakaran Hutan dan Lahan

Dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh KLHK, Direktur Jendral Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Karliansyah, mengatakan, kualitas udara tahun 2016 dibanding dengan tahun 2015 relatif konstan.

“Dari data tahun 2016 diperoleh sebuah parameter yang melampaui baku mutu udara ambient yaitu hydrocarbon di Kota Medan. Selain itu sebanyak 14 kota yang tidak melaksanakan kegiatan Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan (EKUP) 2016 diantaranya Bandung, Bekasi, Depok, Bogor, Surabaya, Tangerang, Malang, Tangerang Selatan, Jayapura, Manokwari, Kendari, Ternate, Palangkaraya, serta Pangkal Pinang,” paparnya.

Padahal, terusnya, manfaat EKUP diantaranya adanya informasi kualitas udara, kinerja dan daya saing kota dalam pengelolaan kualitas udara dan penerapan transportasi berwawasan lingkungan, dan dapat menjadi acuan bagi pemerintah dan masyrakat kota untuk meningkatkan kualitas udara perkotaan.

Selain itu, EKUP dapat dijadikan arahan dan masukan dalam menetapkan kebijakan strategi dan rencana aksi pengelolaan kualitas udara khususnya dari sumber bergerak serta laporan akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat tentang pengelolaan kualitas udara di perkotaan di Indonesia.

BACA JUGA: KLHK Sarankan Impor Bahan Bakar untuk Euro 4

Karli mengungkapkan, ada beberapa komponen kegiatan yang perlu dilakukan dalam kerangka mendorong perbaikan kualitas udara perkotaan seperti penggunaan bahan bakar bersih. Bahan bakar yang bersih berpotensi untuk meningkatkan kinerja mesin kendaraan sekaligus mengurangi pencemaran udara.

“Saat ini kita sedang intensif berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga lain dalam upaya untuk segera memberlakukan kebijakan EURO 4. Melalui kebijakan EURO 4 ini, maka bahan bakar ramah lingkungan secara otomatis akan tersedia, yaitu bahan bakar dengan kandungan sulfur di bawah 50 ppm,” tambahnya.

Komponen selanjutnya adalah pengalihan moda transportasi dari kendaraan pribadi ke jenis angkutan umum dan peningkatan jumlah dan kualitas angkutan umum yang murah, aman dan nyaman, di samping sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat juga akan sangat menunjang dalam menurunkan beban emisi ke udara.

Penulis: Danny Kosasih

Top