Judicial Review: KLHK Tegaskan Pentingnya Komitmen Keadilan Untuk Lingkungan Hidup

Reading time: 3 menit
Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memandang Judicial Review (JR) yang diajukan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) terkait Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 UU Lingkungan Hidup ke Mahkamah Konstitusi merupakan upaya untuk melepas tanggung jawab korporasi dengan meng-kambing-hitamkan masyarakat atas ketidakmampuan korporasi sebagai pemegang izin, dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di kawasan konsesi mereka.

Saat dihubungi oleh Greeners, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani menganggap bahwa Judicial Review (JR) yang dilakukan oleh APHI dan GAPKI ini seolah-olah ingin memberi tahu kalau kebakaran hutan dan lahan yang meluas di konsesi korporasi karena adanya praktek kearifan masyarakat lokal (Pasal 69 ayat 2).

Padahal, katanya, korporasi sudah diberi keistimewaan untuk mengelola puluhan ribu hingga jutaan hektar kawasan hutan, karena korporasi dianggap mempunyai sumberdaya dan kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan di konsesi, termasuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.

BACA JUGA: Korporasi Ajukan Judicial Review UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

“Seharusnya korporasi mampu mencegah dan mengatasi meluasnya kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesi mereka. Bayangkan ada satu konsesi lahan yang terbakar lebih dari 80 ribu Ha, bandingkan luas Jakarta sekitar 60 ribu  Ha. Seharusnya sebagai pemegang izin, korporasi wajib mempunyai kemampuan dan siap untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran di konsesi mereka. Patut ada yang menduga bahwa kebakaran yang meluas ini disengaja, untuk menghemat biaya penyiapan lahan (land clearing) dan peningkatan kualitas tanah,” tegas pria yang akrab disapa Roy ini, Jakarta, Jumat (09/06).

Meluasnya kebakaran yang terjadi selama ini, lanjutnya, dikarenakan korporasi tidak mempunyai sarana, prasarana dan sumber daya manusia yang memadai. Agar tidak terulang, dalam dua tahun ini KLHK telah menerapkan sanksi administratif, perdata dan pidana dengan tegas.Ada 42 korporasi pemegang izin kita kenakan sanksi administratif mulai dari paksaan pemerintah, pembekuan dan pencabutan izin, dan ada 115 korporasi diberikan peringatan untuk melengkapi sarana dan prasarana pencegahan dan penanggulang kebakaran. Serta ada 10 korporasi yang kita gugat perdata, dan 26 korporasi yang dipidanakan.

Penegakan hukum baik sanksi administratif, perdata dan pidana dilakukan agar mempunyai efek jera dalam mendorong perusahaan memperbaiki perilaku dan kinerja pengelolaan lingkungan. Ada Perbaikan sarana dan prasarana pencegahan dan penanggulan kebakaran hutan oleh dilakukan perusahaan, walaupun masih harus ditingkatkan.

BACA JUGA: KLHK: Pendaftaran Judicial Review Perpres 18/2016 Hal yang Biasa

Terkait pasal strict liability yang digugat, Roy menjelaskan bahwa pasal tersebut ada untuk memudahkan pihak Penggugat (seseorang, masyarakat, organisasi lingkungan hidup dan pemerintah) untuk mengajukan gugatan ganti kerugian dan/atau pelaksanaan tindakan pemulihan lingkungan hidup. Dengan menggunakan strict liability Penggugat tidak perlu membuktikan kesalahan Tergugat.

Penggugat hanya tinggal membuktikan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh tergugat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup menggunakan B3, menghasilkan limbah B3 atau menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan hidup. Dalam strict liability pihak tergugatlah yang harus membuktikan dia harus bertanggung jawab maupun bersalah atau tidak atas suatu bahaya atau kerugian yang terjadi.

KLHK sendiri telah berhasil memenangkan banyak kasus menggunakan pasal strict liability ini. Tindak pidana atas dasar kelalaian yang diatur Pasal 99 UU 32/2009 juga memudahkan bagi penegak hukum dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana, khususnya terhadap tindak pidana korporasi, karena penyidik tidak perlu membuktikan bahwa pihak penanggung jawab usaha dan/atau usaha sebagai pelaku pembakaran hutan dan/atau lahan, melainkan karena tidak diindahkannya larangan dan/atau tidak dilaksanakannya kewajiban dalam izin dan/atau peraturan perundang- undangan di bidang lingkungan hidup sesuai dengan standard yang ditentukan.

“Dari beberapa putusan yang ada terlihat peningkatan efektifitas penegakan hukum yang dilakukan. Kemajuan terpenting terkait dengan penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan terhadap korporasi pembakaran hutan dan lahan adalah komitmen para hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan hakim agung dalam menerapkan putusan yang berkeadilan untuk lingkungan hidup (prinsip indubio pro natura). Kami mengapresiasi komitmen ini,” tutupnya dengan tegas.

Penulis : Danny Kosasih

Top