KLHK: Selain Pengelolaan Buruk, Kematian Gajah Yani Diduga Karena Faktor Usia

Reading time: 3 menit
Walikota Bandung Ridwan Kamil berkunjung ke Kebun Binatang Bandung untuk melihat kondisi gajah Yani pada Rabu (11/05). Sumber: Instagram Ridwan Kamil

Jakarta (Greeners) – Kematian gajah Yani di Kebun Binatang Bandung selain dikarenakan buruknya pengelolaan, faktor usia satwa juga diduga menjadi salah satu penyebabnya. Hal ini disampaikan oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Tachrir Fathoni.

“Apalagi usia Yani kan sudah 34 tahun, sedangkan rentang usia hewan itu kan antara 30 sampai 50 tahun,” katanya kepada Greeners saat dijumpai di ruang kerjanya, Jakarta Kamis (12/05) kemarin.

Direktur Utama Taman Safari Indonesia yang juga Sekretaris Jendral Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia, Tony Sumampau mengatakan bahwa kematian satwa di kebun binatang adalah peristiwa yang wajar bila masih berada di bawah dua persen dari total satwa di kebun binatang tersebut dan tidak terjadi secara beruntun. Menurutnya, kasus di Kebun Binatang Bandung masih belum melampaui angka itu.

“Meski tetap penyebab kematiannya harus dicari tahu. Apalagi usia gajah Yani itu sudah harus masuk dalam perawatan khusus,” tambahnya.

Menurut Tony, selain tugas pengawasan yang dilakukan oleh BBKSDA, pihak kebun binatang sudah seharusnya melakukan pengawasan secara internal. Dalam kasus gajah Yani, lanjutnya, harus ada pengawasan ekstra, pemberian gizi yang cukup, makan tidak berlebihan, juga tempat tinggal yang layak karena usia gajah tua juga rentan terhadap penyakit.

“Saya rasa Kebun Binatang Bandung sudah melakukan hal-hal itu. Hanya saja Kebun Binatang Bandung sedang mendapat banyak pemberitaan buruk ya. Apalagi masalah lahan. Kebun Binatang Bandung itu sangat strategis untuk dijadikan Mall. Tapi saya berharap itu tidak terjadi, Kebun Binatang Bandung harus tetap menjadi ruang hijau di sana,” katanya.

Minim Tenaga Pengawas

Terkait buruknya pengelolaan Kebun Binatang Bandung, Tachrir Fathoni mengakui bahwa banyak dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) yang memang “keteteran” atau tidak melakukan fungsi pengawasan dengan baik terhadap lembaga konservasi maupun kebun binatang karena banyaknya tugas yang harus dilakukan.

Selain itu, jumlah sumber daya manusia BBKSDA yang minim juga dianggap menjadi kendala dalam melakukan audit dan pengawasan. Ke depannya nanti, Tachrir mengatakan akan mulai menggandeng lembaga swadaya masyarakat, komunitas atau siapapun yang peduli terhadap kelestarian satwa untuk diajak bekerjasama dalam melakukan pengawasan.

“Terus terang saja kebun binatang, lembaga konservasi, penangkaran itu jumlahnya ribuan. Dari satu balai saja harus mengawasi banyak. Misalnya ada satu tempat penangkaran yang telur hewannya menetas, itu kan mereka harus datang. Membuat buku acara. Jadi tenaga kita memang kurang,” ujarnya.

(selanjutnya)

Top