KNTI: Blue Economy Bukan Hal Baru di Indonesia

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Konsep “ekonomi biru” atau blue economy diyakini sangat relevan diterapkan di sektor kelautan dan perikanan berbasis alam. Konsep tersebut diperkenalkan untuk menjawab tantangan bahwa sistem ekonomi dunia selama ini cenderung eksploitatif dan merusak lingkungan akibat keserakahan.

Pakar dan inisiator konsep blue economy, Prof. Gunter Pauli sempat mengemukakan bahwa ekonomi biru juga bisa diartikan sebagai model ekonomi baru untuk mendorong pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dengan kerangka pikir seperti cara kerja ekosistem.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Riza Damanik mengutip satu perkataan bijak dari para nelayan di Lamalera, Nusa Tenggara Timur yang mengatakan “Ina soro budi, budi noro apadike. Pai pana ponu, te hama hama” (Laut adalah ibu yang membesarkan dan mengasihi. Karena itu, jaga dan peliharalah kelestariannya).

“KNTI menilai, prinsip-prinsip dasar yang digeluti oleh masyarakat Lamalera sejak abad ke-16 silam, adalah keteladanan yang juga sejalan dengan dua karakter utama ekonomi biru seperti yang pernah disampaikan oleh Prof. Gunter Pauli yaitu ‘learning from nature and the logic of ecosystem is applied’. Maka, secara prinsip hal ini bukan konsepsi baru di tengah masyarakat nelayan kita di Indonesia,” ujar Riza kepada Greeners, Jakarta, Selasa (30/06).

Menurut Riza, yang menjadi persoalan saat ini adalah angka rasio gini (derajat ketidakmerataan distribusi penduduk) secara nasional di Indonesia mencapai angka 0.41. Ini artinya, semakin melebarnya pendapatan antara si kaya dan si miskin.

Merujuk pada perkembangan Nilai Tukar Nelayan dan Nilai Tukar Pembudidaya Ikan yang sangat dinamis, lanjut Riza, KNTI percaya bahwa angka ketimpangan di kampung-kampung pesisir akan jauh lebih tinggi dari 0.41. Itu sebabnya, KNTI mendukung keputusan Pemerintah Indonesia untuk menargetkan pengurangan angka gini rasio dari 0.41 menjadi 0.36 di tahun 2019.

“Namun pertanyaannya, bagaimana agar intervensi negara dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di kampung-kampung nelayan dapat berkontribusi mengurangi angka ketimpangan tadi?” katanya.

Riza mengatakan bahwa ada dua hal yang diharapkan oleh KNTI agar pemerintah mampu memastikan terjadinya redistribusi aset. Pertama, perlu ada upaya lebih dari pemerintah untuk memberikan kepastian dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat nelayan tradisional dan pembudidaya ikan di tengah maraknya praktik privatisasi, seperti reklamasi pantai dan penambangan pasir pantai, termasuk menghentikan pencurian ikan secara tuntas dan berkelanjutan.

Sedangkan yang kedua, lanjut Riza, untuk redistribusi pendapatan, pemerintah harus dapat memperkuat perannya dalam memperkuat kegiatan pasca produksi, terutama dalam hal memastikan tidak terjadi tindakan manipulasi harga oleh pasar terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh nelayan dan pembudidaya ikan serta mengenalkan ilmu serta teknologi terapan ke kampung-kampung nelayan guna meningkatkan nilai tambah dari produk-produk perikanan Indonesia.

“Untuk itulah, Indonesia perlu bergesar dari model pengelolaan perikanan yang eksploitatif, menjadi inovatif. Disinilah prinsip-prinsip dalam blue economy versi Gunter Pauli maupun visi Pemerintahan Baru perlu kita uji pelaksanaannya,” tutupnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top