Koalisi Jatim Peduli Agraria Tuntut Hentikan Perluasan Industri Ekstraktif

Reading time: 3 menit
industri ekstraktif
Foto: Koalisi Jawa Timur Peduli Agraria

Malang (Greeners) – Koalisi Jawa Timur Peduli Agraria yang berasal dari berbagai komunitas di Jatim menggelar aksi selama empat hari berturut-turut, mulai tanggal 10-13 April 2017. Mereka menuntut kepada pemerintah agar menghentikan perluasan industri ekstraktif untuk menyelamatkan ruang hidup rakyat di berbagai wilayah.

Aksi ini dilakukan dengan berbagai acara yang dipusatkan di Taman Apsari yang berada di depan Gedung Grahadi, Surabaya. Selain aksi massa, koalisi juga menggelar diskusi-diskusi terkait konflik-konflik agrarian di Indonesia serta perampasan ruang hidup oleh industri ekstraktif dan problematika ruang perkotaan. Di area aksi juga digelar pameran foto kasus-kasus agrarian dan donasi koin untuk presiden pengganti biaya investasi PT Semen Indonesia.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur Rere Christanto menjelaskan, di dalam konstitusi Indonesia sudah jelas mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harusnya dilindungi oleh negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Namun, konflik-konflik agraria dan ekologi belakangan ini menunjukkan bahwa negara telah abai untuk menjaga kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat.

BACA JUGA: Konflik Pabrik Semen, Izin Gubernur Jateng Dinilai Sebagai Kejahatan Kemanusiaan

Rere menyontohkan, pada kasus pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang, penolakan yang dilakukan oleh rakyat melalui jalur hukum hingga dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung yang membatalkan izin lingkungan PT SI di Rembang, diabaikan begitu saja oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dengan mengeluarkan izin baru.

“Pembangkangan hukum yang dilakukan oleh Ganjar menunjukkan bahwa tidak ada komitmen pembelaan terhadap petani dan rakyat kecil bila dihadapan gelontoran investasi industri ekstraktif seperti PT SI,” kata Rere dalam siaran pers yang diterima Greeners, Selasa (11/4/2017).

Kondisi ini semakin memperburuk situasi konflik agraria dan ekologi yang terus muncul di berbagai wilayah akibat perluasan industri ekstraktif, termasuk di Jawa Timur. Data Walhi Jawa Timur, sepanjang tahun 2016 saja setidaknya terjadi 127 kasus sosial ekologis yang berujung pada pencaplokan wilayah kelola rakyat dan kerusakan lingkungan.

industri ekstraktif

Foto: Koalisi Jawa Timur Peduli Agraria

Pencaplokan wilayah kelola rakyat ini bisa dilihat dari luasnya lahan industri ekstraktif baik migas maupun mineral di Jawa Timur. Di sektor migas, setidaknya tercatat 63 Wilayah Kerja Pertambangan dengan pembagian 31 Wilayah Kerja Pertambangan dengan status eksploitasi atau KKKS (Kontraktor Kontrak Kerjasama), dan 32 Wilayah Kerja Pertambangan yang sedang dalam status eksplorasi.

Sementara di sektor pertambangan mineral, data yang dihimpun melalui Korsup KPK (Koordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk pertambangan mineral dan batubara menunjukkan bahwa per 29 Agustus 2016, jumlah IUP di Jawa Timur mengalami penurunan bila dibanding data Kementerian ESDM di tahun 2012, yaitu dari 378 IUP di tahun 2012 menjadi 347 IUP di tahun 2016.

Namun terdapat peningkatan signifikan terhadap luasan lahan pertambangan. Jika di tahun 2012 luas lahan pertambangan di Jawa Timur hanya 86.904 hektare, pada tahun 2016 tercatat luasan lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 551.649 hektare.

“Kenaikan jumlah lahan pertambangan di Jawa Timur telah mencapai 535 persen hanya dalam jangka waktu 4 tahun saja,” kata Rere.

BACA JUGA: Walhi Jatim: Regulasi Masih Menjadi Ancaman Keselamatan Lingkungan

Akibatnya, perluasan lahan pertambangan di Jawa Timur mendorong meningkatnya konflik agraria dan sosial ekologis. Misalnya di pesisir selatan Jawa Timur yang diproyeksikan menjadi sentra investasi pertambangan, sepanjang 2015 hingga 2016 konflik berbasis kasus pertambangan terus mengemuka. Masih lekat pada ingatan kita pada 26 September 2015 lalu, 2 orang aktivis tolak tambang pasir di desa Selok Awar Awar, Lumajang dibantai dan dianiaya sehingga menyebabkan satu orang bernama Salim Kancil meninggal dunia dan rekannya Tosan terluka parah.

Koalisi menuntut segera dilakukan perubahan dalam kerja-kerja pemerintah terutama terkait agraria dan keselamatan ekologi. “Jika tidak ada perubahan yang berarti dalam kepastian hukum terhadap petani dan rakyat kecil, Presiden Jokowi telah gagal menggenapi Nawacita-nya dan Negara kembali absen membela rakyat,” kata Rere.

Koalisi Jawa Timur Peduli Agraria terdiri dari WALHI Jatim, LBH Surabaya, KontraS Surabaya, LAMRI, GMNI Surabaya, SMI Surabaya, SLH Saunggalih Pasuruan, LDF, IMM Surabaya, Fordiskum FH UTM, FNKSDA Surabaya, Komune Rakapare, Aliansi Literasi Surabaya, Pusham Ubaya, Ecoton, Papan Jati, Aksi Kamisan Surabaya, LPM Retorika, AJI Surabaya, FSPMI Jatim, Pusham Surabaya, LPBP, HRLS FH Unair, PW Stren Kali Surabaya.

Penulis: HI/G17

Top