Kupang Jadi Kota Percontohan Kerentanan Perubahan Iklim Wilayah Pesisir

Reading time: 2 menit
kupang
Kupang. Foto: Jacques Beaulieu/Flickr.com

Jakarta (Greeners) – Meningkatnya populasi penduduk di perkotaan membuat kota menghadapi tantangan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Laju urbanisasi dan perubahan iklim pun dianggap memiliki hubungan yang tidak terpisahkan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menerangkan bahwa hasil kajian mengenai pendanaan aksi-aksi perubahan iklim perkotaan di Indonesia yang mengambil kasus di kota Kupang, telah menunjukkan bahwa kota di pesisir sangat rentan dan terkena dampak terhadap perubahan iklim.

Kerentanan tersebut, terusnya, ditandai dengan kenaikan permukaan air laut, kenaikan intensitas angin, serta musim hujan yang tidak menentu hingga menyebabkan kekeringan di sumber mata air. Situasi seperti ini, katanya, berisiko untuk terjadinya kerusakan pada ekosistem, sarana fisik dan bangunan di kawasan pesisir, hingga meningkatnya wabah penyakit dan angka kemiskinan.

“Pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi di kota Kupang ini juga mendorong terjadinya peningkatan emisi gas rumah kaca yang berasal dari sektor transportasi dan konsumsi bahan bakar. Apalagi pengelolaan sampah di Kupang masih menggunakan sistem open dumping,” katanya di Jakarta, Senin (24/10).

BACA JUGA: Lembaga Keuangan Berpotensi Tekan Laju Perubahan Iklim

Menurut Henriette Imelda, penulis kajian dari IESR, Kupang memiliki dua sumber penyumbang emisi gas rumah kaca, yaitu penggunaan energi (termasuk transportasi dan listrik) dan emisi dari limbah sampah kota.

Konsumsi energi di kota Kupang yang sebagian besar energi listriknya dihasilkan dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil selalu meningkat setiap tahunnya. Kebutuhan listrik di Kupang sendiri mencapai 55 MW.

“Untuk sampah domestik, volume yang dihasilkan kota Kupang mencapai 382 m3/hari. Namun hanya 268 m3/hari yang berhasil terangkut dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA),” ujarnya.

Menurut Imelda, untuk mengatasi dampak perubahan iklim itu, ada beberapa aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat dilakukan kota Kupang. Untuk mitigasi, baik pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat sipil bisa memanfaatkan penggunaan kompor biomassa yang hemat energi, penggunaan biogas digester sebagai pengganti minyak tanah, melakukan pengolahan sampah melalui sistem 3R dan bank sampah, hingga monitoring kualitas udara dari pencemaran kendaraan bermotor.

Sedangkan untuk kegiatan adaptasi, bisa melakukan kegiatan urban farming dan pengomposan di tingkat rumah tangga, melakukan pembangunan infrastruktur pengendalian banjir dan tanah longsor, hingga melakukan pemetaan wilayah kebencanaan dan rencana kontingensi kebakaran.

BACA JUGA: Perikanan Skala Kecil Terancam Proyek Berkedok Mitigasi

Dengan mengetahui hasil kajian tersebut, lanjutnya, ia berharap bahwa kota Kupang bisa menjadi studi kasus dan pembelajaran kota-kota lainnya di Indonesia bahwa ancaman perubahan iklim di wilayah pesisir sudah semakin nyata. Oleh sebabnya, Pemerintah Daerah perlu bekerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk menyiapkan program kerja yang inovatif serta aksi-aksi terukur untuk mempersiapkan kota menghadapi perubahan iklim.

Sebagai informasi, studi mengenai pendanaan aksi-aksi perubahan iklim di kota Kupang merupakan bagian dari rangkaian studi bertajuk Exploring Innovative ways of Financing for Climate Compatible in Asian Cities yang didukung oleh Germanwatch dan dilakukan di tiga kota di tiga negara, yaitu India, Filipina dan Indonesia.

Penulis: Danny Kosasih

Top