Limbah Plastik sebagai Campuran Aspal Bukan Solusi Pengurangan Sampah Plastik

Reading time: 3 menit
aspal
Ilustrasi. Foto: wikemedia commons

Jakarta (Greeners) – Rencana penggunaan limbah plastik sebagai bahan material campuran untuk aspal yang telah diuji coba di Bali oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang bekerjasama dengan Kementeriaan Koordinator bidang Kemaritiman dianggap bukan solusi upaya pengurangan sampah plastik di Indonesia.

Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengingatkan bahwa amanat pengurangan sampah plastik pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah upaya pengurangan timbulan sampah yang berarti mencegah sampah itu timbul, dengan cara mengurangi konsumsi material dari hulu.

Sedangkan, Direktur Perkumpulan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) David Sutasurya dan beberapa anggota Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya berpendapat bahwa pemanfaatan plastik untuk campuran aspal tergolong pendekatan hilir (end-of-pipe) dan berpotensi mengganggu aliran daur ulang plastik yang sudah ada. Karena itu mereka menganggap program ini tidak layak untuk dimasukkan sebagai bagian dari aksi nasional untuk reduksi sampah.

“Tanpa kajian yang matang dan holistik, terutama terkait dengan potensi timbulan, sirkulasi dan proses daur-ulang berbagai jenis plastik yang sudah ada, solusi latah yang meniru India ini tidak dapat disebut sebagai solusi berkelanjutan dan tidak mencerminkan visi circular economy,” ujar David seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Selasa (22/08).

BACA JUGA: LIPI: Tidak Mudah Meneliti Sumber Sampah di Laut

Selain itu, aspal plastik ini juga memiliki potensi racun karena pastik yang digunakan dalam proses pengolahan aspal hanya berubah secara fisik dan membentuk lapisan tipis pada batuan, plastik tersebut tidak terurai. Pada proses pembuatan jalan, aspal plastik diproses pada suhu maksimum 160 derajat Celcius, yang cukup tinggi untuk melelehkan plastik tapi terlalu rendah untuk memastikan degradasi berbagai jenis senyawa beracun.

Beberapa penelitianmenyatakan bahwa proses melelehkan plastik dapat melepas emisi VOC (Volatile Organic Compound). Bahkan hanya dengan suhu pelelehan 150 derajat Celcius, sudah dapat timbul pelepasan VOC. Semakin tinggi suhu pemrosesan, maka total emisi VOC yang dilepaskan juga meningkat. Oleh karena itu, kajian lingkungan terhadap kandungan gas yang dilepas selama proses perlu dilakukan bahkan setelah jalan plastik ini dilapisi oleh agregat bahan jalan dan telah dioperasikan.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 3/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga bahkan secara rinci telah menjelaskan standar kriteria penempatan lokasi TPA, termasuk jaraknya dari lokasi pemukiman penduduk dan badan air karena tingginya potensi pencemaran dari berbagai material yang masuk ke TPA.

“Sedangkan penempatan plastik di badan jalan berpotensi besar membuat berbagai potensi pencemar berinteraksi lebih dekat lagi ke permukiman dan badan air,” lanjutnya.

BACA JUGA: KLHK Luncurkan Bioplastik dan Tas Belanja Plastik ber-SNI

Bila program pembuatan jalan dengan plastik ini tetap diupayakan, Aliansi Zero Waste Indonesia meminta pemerintah atau kementerian terkait untuk membuka dokumen publik mengenai kajian lingkungan terkait proyek uji coba ini. Mereka juga meminta agar dilakukan penelitian untuk memastikan tidak adanya potensi pencemaran dan dampak kesehatan, baik kepada pekerja maupun penduduk di sekitar lokasi pembuatan jalan serta melakukan uji karakteristik toksik (TCLP, LD-50, dan uji sub-kronis) sesuai PP 101/2014.

“Selain itu, uji potensi pelepasan plastik dan bahan pencemar lainnya akibat proses pelapukan jalan juga harus dilakukan,” tambahnya.

Sebagai informasi, sebelumnya, Direktur Pusat Teknologi Lingkungan (PTL BPPT) Rudi Nugroho, ketika dihubungi oleh Greeners mengatakan, meski menggunakan bahan baku plastik, jalan yang terbuat dari aspal akan tetap aman bagi masyarakat dan tidak akan memunculkan emisi yang membahayakan dari plastik yang telah diolah tersebut dengan komposisi 90% aspal dan 10% sampah plastik.

Rudi merasa yakin karena jenis plastik yang digunakan sebagai campuran aspal tersebut adalah plastik jenis PP atau PE. PP atau polypropylene ialah bahan plastik yang digunakan untuk kemasan makanan kering, sedotan, kantong obat, penutup botol, dan sejenisnya. Sementara PE atau polyethylene ialah bahan plastik yang digunakan sebagai kemasan minuman atau cairan. “Jadi ya tidak akan melepaskan emisi yang berbahaya,” katanya.

Penulis: Danny Kosasih

Top