LIPI Dorong Petani Gunakan Pupuk Organik Hayati

Reading time: 3 menit
pupuk organik
LIPI menggelar Media Briefing POH LIPI untuk Penyediaan Bahan Pangan Bergizi dan Berkelanjutan, Jakarta, Senin (21/05/2018). Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam beberapa tahun terakhir telah mensosialisasikan dan mempraktikan penggunaan teknologi Pupuk Organik Hayati (POH) kepada kurang lebih 6.000 masyarakat petani di sekitar 70 pemerintah kota atau kabupaten di seluruh Indonesia. Hal ini diharapkan agar ke depannya POH mampu mengubah pola pikir petani akan ketergantungan penggunaan pupuk kimia dan mendorong untuk beralih ke pupuk organik.

Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI Mego Pinandito mengatakan, manfaat utama POH LIPI adalah meningkatkan produksi pertanian secara signifikan. Lalu, tanaman yang menggunakan POH lebih tahan hama penyakit dan meningkatkan kualitas biokimia tanah pertanian.

“Petani dapat menghasilkan jumlah padi yang semula 6 ton per hektar bisa menjadi 10-12 ton per hektar dan kandungan kimia lebih sedikit karena penggunaan dari pupuk organik. Selain itu, kita mengonsumsi makanan-makanan yang sehat karena penggunaan POH tersebut, lalu di tempat menanamnya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan atau pencemaran tanah karena penggunaan bahan kimia berlebih bisa dihindarkan,” ujar Mego dalam Media Briefing POH LIPI, Jakarta, Senin (21/05/2018).

BACA JUGA: LIPI Kembangkan Bioetanol dari Limbah Kelapa Sawit

POH LIPI merupakan pupuk non axenic kultur Rizo-mikroba Pemacu Pertumbuhan Tanaman (RPPT) yang memiliki multi biokatalis dalam menyediakan Nitrogen, Fosfat, Kalium (NPK), zat pengatur tumbuh, dan asam-asam organik yang sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi tanaman dan kesehatan tanah. Produksi pupuk ini sendiri telah mencapai 14.000 liter dengan potensi aplikasi pada lahan seluas 600 hektar dalam satu musim.

“Formula POH berbasis bahan atau substrat organik lokal yang mudah didapat masyarakat dengan harga terjangkau. Bahan-bahan pembuatan pupuk tersebut antara lain tauge, gula merah, molase, air kelapa muda, agar-agar, tepung jagung, dan tepung ikan. Penggunaan POH ini juga mampu mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia 30-50 persen,” ujar Sarjiya Antonius, peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI.

Lebih lanjut Anton mengatakan bahwa teknologi produksi dan aplikasi POH telah diadopsi secara resmi oleh Kabupaten Malinau, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Bangka, dan Kabupaten Sangihe. Selain itu, POH juga telah diproduksi secara rutin dan mandiri di berbagai kelompok tani dan praktisi di berbagai wilayah Indonesia.

POH ini sendiri memiliki keunggulan diantaranya meningkatkan kualitas hasil panen dan harga jual, tidak mencemari hasil panen dan lingkungan, menurunkan beban biaya persediaan sarana produksi bahan kimia agro, serta meningkatkan biodiversitas dan kesehatan tanah.

Meski demikian penerapan POH ini juga memiliki kekurangan, diantaranya efek perlakuan pada tanaman tidak secepat pupuk kimia sehingga tidak mudah untuk meyakinkan petani; perlu tambahan tenaga dalam aplikasi karena POH ini baru muncul hasilnya ketika 1-2 minggu, berbeda dengan pupuk kimia yang 3 hari langsung terlihat hasilnya; dan daya simpan POH terbatas yaitu hanya 1 tahun.

BACA JUGA: Pertanian Organik Tidak Cukup untuk Menahan Perubahan Iklim

Salah satu wilayah yang sudah menggunakan POH adalah Kabupaten Bangka yang sebagian besar lahannya merupakan pertambangan timah. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bangka, Kemas Arfani Rahman, mengaku bahwa hasil panen padi di Kabupaten Bangka mengalami peningkatan yang cukup signifikan berkat penerapan POH.

“Tanah kami ini cukup memprihatinkan karena miskin unsur hara, sifat air atau tanah asam dengan Ph 4-5, dan mikrobiologi rendah akibat pertambangan timah. Tahun 2016, pertama kali kami menggunakan POH, kami berhasil mendapatkan panen padi sebesar 3,5 ton per hektar. Lalu panen terakhir pada tanggal 8 mei 2018 mendapatkan 4,28 ton. Hasilnya cukup memuskan dibandingkan dengan rata-rata panen di Bangka Belitung sebesar 2,7 ton per hektar. Jadi kalau lahan tambang bisa menghasilkan jumlah tersebut, ini suatu keberhasilan dan hasil tersebut sudah melebihi hasil provinsi,” kata Kemas.

Manfaat penggunaan POH ini, lanjut Kemas, juga bisa dirasakan oleh petani seperti anakan pada tanaman padi lebih banyak, produksi meningkat, akar tanaman lebih kuat dan tahan terhadap pirit (mineral yang mengandung bes dan berelang, Red.), penggunaan pupuk kimia lebih sedikit sehingga dapat memangkas ongkos produksi, dan tanaman cabai lebih tahan terhdapat penyakit mosaik.

“Pelaksanaan POH yang sudah kami lakukan di dinas pertanian dan kabupaten Bangka ini menjadi solusi bagi kami dalam menghadapai pasca tanah pertambangan timah,” kata Kemas.

Penulis: Dewi Purningsih

Top