MoU Antara Pemerintah dan Freeport Bukan Harga Mati

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyatakan bahwa perpanjangan Memorandum of Understanding (MoU) terkait perpanjangan izin PT Freeport Indonesia hingga enam bulan ke depan telah menunjukkan kalau pemerintah Indonesia lebih fokus pada aspek ekonomi dan mengabaikan aspek lainnya, seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serta pencemaran lingkungan.

Manajer Emergency Response Jatam, Ki Bagus Hadi Kusuma, menjelaskan bahwa Jatam melihat pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) bukan hanya satu-satunya jawaban atas masalah Freeport. Ia menyampaikan, jika berbicara tentang smelter maka pemerintah hanya berbicara mengenai keuntungan negara, dan tidak berbicara mengenai bagaimana memulihkan lingkungan, HAM dan masyarakat adat‎.

“Pemerintah selama ini hanya melihat sisi ekonomisnya saja, mereka tidak memerhatikan bagaimana pelanggaran HAM dan pencemaran lingkungan yang telah dilakukan oleh Freeport. Jika terus seperti ini, maka permasalahan di Papua tidak akan habis hingga emasnya habis,”‎‎ jelas Ki Bagus saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta, Selasa (03/02).

Rencana pembangunan smelter PT Freeport di Gresik, Jawa Timur, menurut Ki Bagus, tidak akan membuat banyak perbedaan karena yang menjadi akar permasalahan bukanlah soal pemilihan lokasi.

“Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi menyeluruh selama proses renegosiasi berlangsung sejak Januari 2014 lalu. Pemerintah seharusnya melakukan audit lingkungan, evaluasi kelayakan kerja, serta melibatkan lembaga lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komnas HAM,” terangnya.

Ki Bagus juga menambahkan bahwa MoU pemerintah dengan PT Freeport bukanlah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Menurutnya, jika pemerintah ingin tegas, habisnya izin ekspor atau batas waktu pembangunan smelter tahun lalu dapat digunakan untuk mencabut izin Freeport. Hal ini untuk menunjukan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat dan tidak lemah di hadapan korporasi besar.

“Bahkan Menteri ESDM saat itu, Jero Wacik telah mengakui bahwa ada pelanggaran undang-undang yang dilakukan kementerian juga PT Freeport terkait pembangunan smelter ini. Ya, idealnya seharusnya izin itu tidak usah diperpanjang, cukup sampai 2021 saja. Tapi kalau pemerintah mau dan berani, bisa saja kontrak itu dicabut sekarang sebelum masa kontraknya habis dengan berbagai pertimbangan tadi,” pungkasnya.

Sebelumnya, Gubernur Papua, Lukas Enembe pernah menyatakan bahwa masyarakat Papua akan menutup dan mengusir PT Freeport dari provinsi itu jika tidak membangun smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian bahan mineral di daerah Papua.

Ia mengatakan bahwa Papua tidak akan mengalami kemajuan jika hanya dikeruk sumber daya alamnya tanpa ada pengolahan di lokasi yang sama.

Sebagaimana diberitakan pula, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, mengatakan bahwa pemerintah akan berupaya semaksimal mungkin agar PT Freeport Indonesia mau membangun smelter di Papua.

Mengenai nota kesepahaman yang beberapa pekan lalu ditandatangani, Sudirman menjelaskan bahwa hal itu tidak terkait dengan kontrak kerja. Namun, MoU tersebut merupakan platform atau sarana untuk bernegosiasi antara pemerintah dan PT Freeport.

(G09)

Top