Pangan Rekayasa Genetika Dapat Mengharapkan Masa Depan yang Cerah

Reading time: 3 menit
rekayasa genetika
Ilustrasi: CIAT via flickr.com

LONDON, 29 Mei 2017 – Salah satu topik penelitian yang sensitif, setidaknya untuk Eropa, adalah manipulasi genetik dari tanaman pangan, rumput laut dan alga untuk memproduksi pangan atau menyediakan konversi yang lebih baik ke biofuel. Namun, di sepanjang Atlantik, pangan rekayasa genetika memiliki cerita yang berbeda.

Genetically Modified Organism (GMO) menjadi subyek yang sangat kontroversial karena versi awal dari pangan rekayasa genetika harus diberikan bahan beracun kimia dosis tinggi dan klaim bahwa panen lebih tinggi dan tinggi nutrisi tidak pernah terbukti. Pada beberapa kasus, mereka malah mengancam lingkungan dan Uni Eropa memberikan larangan kepada varietas GMO hingga saat ini.

Namun, AS telah menunjukkan penerimaan GMO sebagai cara untuk mengeruk uang dari pertanian dan para peneliti terus berupaya untuk mengembangkan tanaman pangan dengan modifikasi genetika.

Dua pangan utama global yaitu tebu dan kedelai sedang diteliti oleh tim dari Universitas Illinois. Salah satu grup di College of Agricultural, Consumer and Environmental Sciences (ACES) telah menunjukkan bahwa tebu dapat dimodifikasi secara genetis untuk memproduksi minyak melalui daun dan batang untuk produksi biodiesel. Secara mengejutkan tebu yang dimodifikasi juga memproduksi gula yang dapat digunakan untuk membuat etanol.

Pemasukan Tinggi

Untuk bersaing dengan pangan tradisional, GMO harus bisa menunjukkan bahwa mereka lebih menguntungkan dan peneliti Illinois mengklaim bahwa tebu mereka dapat memproduksi lima kali lipat dari pendapatan kedelai, dan dua kali lebih besar dari jagung.

Lebih lanjut, tebu ini dapat ditanam pada lahan-lahan marjinal yang dikenal sebagai negara bagian Teluk, yaitu Texas, Louisiana, Mississippi, Alabama dan Florida.

“Daripada ladang pompa minyak, kami membayangkan ladang tanaman hijau yang bisa memproduksi biofuel dengan berkelanjutan pada tanah kami, terutama lahan yang marjinal yang tidak cocok untuk memproduksi pangan,” jelas Stephen Long dari universitas tersebut.

Namun, sama halnya dengan kebanyakan penelitian genetik, ada gap panjang antara hasil awal dan penanaman skala besar, berujung kepada produksi biodiesel dan etanol. Long mengakui perlu setidaknya 10 hingga 15 tahun agar bisa digunakan oleh para petani, namun ia percaya bahwa jangka waktu tersebut dibutuhkan untuk menjamin ketahanan energi di masa depan. Tebu akan memproduksi pengganti baik bensin dan diesel.

Para peneliti tersebut telah mempublikaskan sebuah makalah yang menganalisa varietas tebu rekayasa genetik yang pertama pada jurnal Petross Project.

Menggunakan juicer, para peneliti mengekstraksi 90 persen gula dan 60 persen minyak dari tanaman. Jus tersebut difermentasikan untuk memproduksi etanol dan kemudian ditambahkan cairan organik untuk mengambil minyak. Tim tersebut telah mempatenkan metode untuk memisahkan minyak dan gula tersebut.

Mereka mengekstraksi 0,5 dan 0,8 persen minyak dari dua jenis tebu rekayasa genetik, 67 persen dan 167 persen dari tebu yang tidak direkayasa.

“Komposisi minyak dapat dibandingkat dengan yang ditarik dari bahan lainnya seperti rumput laut atau alga yang juga direkayasa untuk memproduksi minyak,” jelas penulis Vijay Singh, direktur Integrated Bioprocessing Research Laboratory di Illinois.

“Kami mengharapkan produksi minyak akan bisa ditingkatkan, produksi gula diturunkan bila berdasarkan model komputer kami,” jelas Long. “Namun, kami menemukan bahwa tanaman dapat memproduksi banyak minyak tanpa kekurangan produksi gula, yang artinya tanaman kami lebih produktif dari yang kami antisipasi.”

Lebih Banyak Pangan

Tim kedua yang meneliti kedelai sangat bersemangat melihat keuntungan dari hasil riset mereka akan bisa menyediakan pangan bagi populasi yang terus meningkat di dunia yang semakin menghangat ini. Kedelai tumbuh di kondisi subtropis dan saat ini hampir bisa ditemukan di makanan olahan di manapun di dunia.

Mereka berhasil merekayasa kedelai untuk memproduksi lebih tinggi pada kondisi di masa depan: dengan banyak karbon dioksida di atmosfer dan tingginya suhu ketimbang saat ini.

Para peneliti mengharapkan bahwa tanaman akan tumbuh lebih baik dengan kadar tinggi CO2 di atmosfer sebab mereka butuh untuk fotosintesis. Hal ini disebut dengan efek pupuk karbon dioksida. Namun, tambahan panas akan menyebabkan stres pada tanaman dan menghilangkan keuntungan tersebut.

Penelitian di bawah kondisi lapangan pada tahapan eksperimental mereplikasikan perubahan iklim di masa depan yang menempatkan kedelai hasil rekayasa genetika pada kondisi yang sama (termasuk matahari, angin, hujan, dan awan) sama dengan pangan lainnya. Mereka menemukan bahwa mereka justru panen lebih baik pada tiga tahun belakangan.

“Saat kita mencoba untuk memenuhi kebutuhan pangan di masa depan, modifikasi seperti ini merupakan salah satu dari banyak alat yang bisa diandalkan,” kata Carl Bernacchi, profesor rekan bidang biologi tanaman di universitas. – Climate News Network

Top