Para Ilmuwan Berupaya Menjawab Tantangan Gas Rumah Kaca

Reading time: 3 menit
gas rumah kaca
Ilustrasi: pixabay.com

LONDON, 5 Mei 2017 – Para ilmuwan asal Swiss telah menemukan cara untuk mengubah gas rumah kaca metan menjadi bahan bakar metanol melalui bantuan air dan katalis sederhana.

Sementara itu, para peneliti asal AS telah menguji coba cara mengubah metan menjadi bahan bakar nabati, bahan kimia khusus atau bahkan pangan ternak dengan bantuan mikroba dari sawah dan danau Siberia.

Di Norwegia, para ahli sedang mencoba hal yang terlihat sederhana, mereka ingin mengeksplotasi udara sebagai baterai yang menampung kelebihan energi terbarukan.

Ketiga penelitian tersebut merupakan contoh dari kecanggihan dan inovasi yang kerap didemonstrasikan oleh laboratorium di seluruh penjuru dunia, baik dari para ahli kimia, ilmuwan, dan mikrobiologi yang memiliki fokus menjawab tantangan energi.

Emisi gas rumah kaca

Mereka semua mencari cara untuk menurunkan gas emisi rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil dengan daur ulang, menjadi efisien, menghilangkan sampah, dan mengambil energi dari cahaya matahari, udara dan air untuk meningkatkan daya tahan lingkungan.

Teknologi-teknologi tersebut dapat, suatu hari, menjadi kontribusi bagi energi efisiensi, dan meski masih lama untuk bisa dieksploitasi secara rutin, mereka telah mendemonstrasikan berkali-kali bahwa para peneliti menghadirkan ide-ide baru untuk menyelesaikan masalah yang mirip terjadi pada era Industri.

Salah satu inspirasi berasal dari metan, sebuah gas rumah kaca yang tidak terlalu lama tinggal di atmosfer ketimbang karbon dioksida, namun bisa berkontribusi kepada pemanasan global. Gas ini dikenal sebagai gas ‘alam’ namun peternakan, baik dari sawah maupun ternak sapi, memproduksi gas metan dalam jumlah besar sama halnya dengan bahan bakar fosil.

Para peneliti dari Swiss Federal Institute of Technology, atau ETH Zurich, menuliskan laporan pada jurnal Science, bahwa mereka berhasil memformulasikam sistem katalis berdasakan zeolites yang mengandung tembaga dengan properti yang tidak terduga. Sistem tersebut mengubah gas metan, dengan formula CH4, menjadi metan cair (CH3OH,) dengan mengeksploitasi oksigen dalam air dan dilakukan dengan efisiensi 97 persen.

Hal ini mengingatkan bahwa sebuah proses yang juga mahal “akan bisa menjadi lebih ekonomis pada skala lebih besar”, kata mereka. Dan, bukan hal yang bisa diakses oleh para teknisi, misalnya sumur minyak di lautan atau gurun pasar di mana masih menghasilkan limbah metan dari sumur-sumur tersebut.

Meski demikian, sebuah tim dari Pacific Northwest National Laboratory (PNNL), di Washington DC, AS, telah menemukan yang lebih portabel, sebuah bio-reactor yang dapat mengubah metan pada ladang minyak dan peternakan menjadi substansi padat yang ramah lingkungan, kaya energi yang bisa dimanfaatkan untuk beberapa produk.

Proses ini tergantung kepada dua mikroba yang tidak ditemukan pada tempat yang sama, tulisnya di jurnal Bioresource Technology. Salah satunya dikenal dengan Methylomicrobium alcaliphilum 20Z yang mengkonsumsi metan pada ladang minyak dan sawah. Satu lagi yaitu Synechococcus 7002 yang berada di danau Siberian, menggunakan cahaya dan karbon dioksida untuk melepaskan oksigen.

Keduanya, jelas para peneliti asal Washington, menghasilkan “perpaduan metabolik yang produktif” untuk menghasilkan sesuatu yang baru. “Kami mengambil produk limbah yang biasa dibuang dan meningkatkannya ke biomassa mikroba yang bisa digunakan untuk mengolah bahan bakar, pupuk, pangan hewan, bahan kimia dan produk lainnya,” jelas Hans Bernstein, ahli kimia dan biologi, anggota PNNL.

Platform bioteknologi

“Dua organisme saling melengkapi, mendukung satu sama lain. Kami telah menciptakan platform bioteknologi yang mudah beradaptasi dengan mikroba yang bisa dilacak secara genetis untuk sintesa biofuel dan biochemical.”

Di Norwegia, para ilmuwan dari SINTEF energy, telah meneliti pendekatan lain untuk energi. Mereka menjalin kerjasama dalam sebuah proyek di Eropa untuk mencari jalan menyimpan energi di dalam tanah.

Mereka juga ingin menempatkan energi kembali dengan baterai yang berdasarkan pada udara panas. Udara ini dipanaskan dan ditekan oleh kelebihan energi dari pembangkit tenaga angin dan matahari lalu disimpan pada gua bawah tanah.

Udara panas yang mengalir melalui gua diisi dengan bebatuan yang hancur dan memanaskan batuan tersebut. Dingin akan menekan udara yang tersimpan pada gua kedua dan akan dilepaskan melalui batu-batuan yang panas saat dibutuhkan.

Kemudian, disalurkan melalui turbin untuk membangkitkan listrik apabila memenuhi puncak atau saat pembangkit surya tidak mampu bekerja, atau saat laju angin rendah dan turbin tidak bergerak sebagaimana mestinya.

Meski demikian, ada kelemahannya. Untuk menggali ruang penyimpanan bawah tanah sangatlah mahal. Namun, Giovanni Perilo, seorang peneliti riset yang juga manajer proyek mengatakan, “Kami memandang terowongan dan ladang tambang yang tidak terpakai sebagai area penyimpanan potensial dan Norwegia memiliki banyak.”

“Semakin banyaknya panas yang tertekan hingga udara bisa tertampung saat dilepaskan dari ruang penyimpanan, semakin banyak pekerjaan yang bisa dilakukan saat melalui turbin. Dan, kami berpikir bahwa kami dapat menyimpang lebih banyak energi ketimbang panas yang dilakukan oleh teknologi saat ini sehingga bisa meningkatkan efisiensi.” – Climate News Network

Top