Pembalakan Liar dan Perdagangan Satwa Ilegal Pintu Masuk Penularan Zoonosis

Reading time: 2 menit
zoonosis
Foto: pixabay.com

Jakarta (Greeners) – Pembalakan liar dan minat masyarakat yang masih tinggi untuk menjadikan satwa liar langka dilindungi sebagai koleksi peliharaan sangat rentan memunculkan risiko penularan penyakit yang bersumber dari hewan (zoonosis), khususnya di Indonesia.

Dokter hewan yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Keteknikan Kehutanan dan Lingkungan Sekretariat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indra Eksploitasia kepada Greeners mengatakan bahwa pembalakan liar yang marak terjadi membuat hutan-hutan yang menjadi habitat satwa semakin berkurang. Akibatnya, satwa liar yang tadinya jauh dari jangkauan manusia kini semakin dekat ke daerah pemukiman penduduk.

Selain itu, perdagangan satwa liar baik peruntukan untuk konsumsi maupun koleksi peliharaan. Dengan meningkatnya nilai satwa liar karena kelangkaannya, kata Indra, maka statistik perdagangan ilegal juga meningkat yang akhirnya menjadikan risiko penyakit hewan yang dapat ditularkan oleh hewan liar turut meningkat.

BACA JUGA: Profauna: Tanjung Perak Jalur Penting Rantai Perdagangan Satwa Dilindungi

Kegiatan perdagangan satwa ilegal, merupakan rantai yang sulit dideteksi mulai dari kegiatan perburuan atau pengambilan dari alam, perdagangan melalui pedagang ‘antara’ dan penyelundupan sampai ke konsumen akhir merupakan kejahatan yang terorganisasi (organized wildlife crime). Hal ini, lanjutnya, membuat potensi terjadinya zoonosis sangat tinggi.

“Contoh paling dekat itu terjadi saat kasus kakaktua ‘botol’ jambul kuning beberapa waktu lalu. Tidak sedikit dari kakaktua yang diserahkan oleh warga di posko kemarin itu yang terdeteksi telah terinfeksi H5N1,” katanya kepada Greeners saat ditemui beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut Indra mengatakan kalau Indonesia bahkan telah ditetapkan sebagai negara dengan penularan nomor satu di dunia. Daftar penyakit secara nasional yang merupakan zoonosis, terang Indra adalah avian influenza (H5N1), rabies, antraks, salmonelosis (infeksi akibat bakteri Salmonella), dan leptospirosis (penyakit yang disebabkan oleh bakteri leptospira yang disebarkan melalui urine atau darah hewan yang terinfeksi bakteri ini).

Selanjutnya ada bovine TB, toxoplasmosis (penyakit parasitik yang disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii yang menginfeksi banyak binatang berdarah-hangat), brucelosis (penyakit yang banyak menyerang kambing, domba atau anjing), para tuberulosis, swine influenza, nipah (air liur kelelawar), brucelosis suis, q fever, camphylobacteriosis serta cysticercosis (penyakit yang memengaruhi babi dan sapi).

Muncul Secara Situasional

Zoonosis sendiri, terusnya, adalah penyakit yang ditularkan oleh manusia ke hewan dan sebaliknya, dari hewan ke manusia. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), dan Aliansi Global untuk Pengendalian Rabies (GARC) telah merilis bahwa 70 persen Emerging Infectious Disease (EID) adalah zoonosis.

“Yang sekarang dilakukan oleh KLHK sendiri, pertama, medis konservasi di tataran in situ yaitu medis konservasi yang diperlukan untuk mengendalikan zoonosis satwa liar di tingkat populasi atau individu satwa di dalam habitat aslinya. Kedua, medis konservasi di tataran ex situ, yaitu tindakan medis untuk mengendalikan zoonosis satwa liar di luar habitatnya,” tambah Indra.

BACA JUGA: Jaga Keamanan Pangan, Kementan Kampanyekan Konsumsi Ayam Dingin Segar

Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian drh. I Ketut Diarmita, MP mengatakan bahwa penyakit zoonosis kebanyakan muncul secara situasional. Oleh karena itu, lanjutnya, Indonesia sudah punya strategi untuk mencegahnya. Ia memberi contoh seperti yang terjadi pada kasus avian influenza (flu burung) yang kemunculannya bisa diramal setiap Februari sampai April.

Untuk penanganan penyakit menular dari hewan ini dibedakan berdasarkan penyebabnya, karena virus atau bakteri. Jika penyakitnya karena virus, kata Ketut, jarang bisa diobati tapi bisa cegah. Contohnya antrax, yang disebabkan oleh bakteri basilus anthraxis, masih bisa diobati dengan antibiotik spektrum luas.

Penulis: Danny Kosasih

Top