Pemerintah Klaim Berhasil Turunkan Jumlah Lahan Kritis Hingga 3 Juta Hektar

Reading time: 2 menit
lahan kritis
Ilustrasi: pixabay.com

Jakarta (Greeners) – Pemerintah mengklaim telah terjadi penurunan jumlah luas hutan dan lahan yang mengalami degradasi pada tahun 2016 yaitu seluas 24.303.294 hektar. Luas lahan kritis tersebut menurun dibandingkan tahun 2011, yang meliputi areal hutan dan lahan seluas 27.294.840 hektar.

Direktur Jendral Pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Hutan Lindung Hilman Nugroho mengatakan bahwa berkurangnya lahan kritis selama tahun 2011 hingga 2016 seluas 3 juta hektar tersebut adalah hasil dari serangkaian upaya konservasi tanah dan air yang dilakukan pemerintah bersama masyarakat melalui rehabilitasi hutan dan lahan, penanaman pohon, agroforestry, pembangunan DAM atau bendungan penahan.

“Program Kebun Bibit Rakyat, Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi, dan Persemaian Permanen, serta kegiatan lainnya yang berbasis masyarakat juga sudah banyak dilakukan sebagai upaya mengurangi lahan kritis ini,” katanya, Jakarta, Kamis (08/12).

BACA JUGA: 108 DAS di Indonesia Dalam Kondisi Kritis

Sedangkan untuk kerawanan bencana terkait DAS di Jawa Barat, diakui Hilman, terjadi karena potensi hujan yang tinggi rata-rata 3.000 mm/tahun yang menyebabkan daerah rentan banjir diantaranya pesisir pantai utara yang meliputi Garut, Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon (DAS Cimanuk dan Cipunagara), beberapa kecamatan di Cekungan Bandung seperti kecamatan Majalaya, Ciparay, Banjaran dan Deyeuh Kolot (DAS Citarum) serta kecamatan Padaherang di kabupaten Ciamis (DAS Citanduy).

Sebelumnya Hilman sempat mengatakan bahwa sebanyak 108 DAS di Indonesia berada dalam kondisi kritis dan perlu ditangani serius. Jika tidak dibenahi, kondisi kritis ini akan memicu bencana banjir bandang seperti yang terjadi di Sungai Cimanuk, Garut, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Ke-108 DAS ini adalah DAS prioritas yang akan ditangani dari 17 ribu DAS di Indonesia. Sedangkan dari 108 DAS prioritas tersebut, terdapat 15 DAS yang masuk dalam rencana aksi strategis (Renstra) KLHK periode 2015-2019.

Penurunan lahan kritis tersebut cukup kontradiktif bila disandingkan dengan bencana banjir dan tanah longsor yang dianggap sebagai akibat berkurangnya kawasan serapan air di mayoritas daerah aliran sungai (DAS).

BACA JUGA: Menteri Siti Nurbaya Evaluasi Pengelolaan Hutan yang Dikelola BUMN

Peneliti utama hidrologi dan pengelolaan DAS di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan dosen Pascasarjana UI, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan bahwa saat ini kerusakan DAS di Indonesia sangat luar biasa. Dari 450 DAS di Indonesia, 118 DAS dalam kondisi kritis. Jika pada tahun 1984 hanya terdapat 22 DAS Kritis dan Super Kritis, maka tahun 2007 sekitar 80 DAS yang Super Kritis dan Kritis.

“Masih luasnya daerah aliran sungai yang kritis, kerusakan lingkungan, degradasi sungai, tingginya kerentanan dan masih terbatasnya mitigasi struktural dan non struktural di masyarakat juga menyebabkan bencana terus meningkat,” tambahnya.

Upaya pengelolaan DAS, menurut Sutopo, memang masih terus dilakukan. Namun ternyata hasilnya belum signifikan. Permasalahan dalam teknologi pengelolaan DAS pada umumnya adalah masalah pemeliharaan setelah proyek berakhir. Berbagai proyek konservasi tanah skala besar di Jawa seperti Proyek Citanduy II, Upland Agriculture and Conservation Project/UACP, dan Land Rehabilitation and Agroforestry Development mempunyai masalah yang sama yakni pemeliharaan teras merosot drastis setelah proyek selesai.

“Pemeliharaan terasering secara terus-menerus tanpa subsidi setelah proyek berakhir tidak dapat dilakukan oleh petani, khususnya petani lahan kering karena besarnya biaya yang diperlukan. Akibatnya, proyek tersebut tidak berkelanjutan dan akhirnya kurang efektif,” tutupnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top