Pengelolaan Sampah, BPPT Tawarkan Teknologi Pemusnahan Sampah

Reading time: 3 menit
Pembuangan sampah di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Gedangkeret di Desa Banjardowo, Jombang, Jawa Timur. Foto: RNW.org/flickr.com

Jakarta (Greeners) – Presiden Joko Widodo pada Juni tahun 2015 lalu, sempat mengeluhkan ratusan program dan aturan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah untuk menangani sampah di perkotaan yang dinilai masih belum berhasil. Padahal, ratusan miliar rupiah telah digelontorkan selama 20 tahun untuk mengatasi masalah tersebut.

Presiden mengakui, dalam beberapa tahun belakangan, banyak sekali ide tentang pengelolaan sampah dari kota-kota di Indonesia, mulai dari peraturan daerah, bank sampah, program daur ulang, dan lainnya. Namun, kata dia, belum ada pengelolaan sampah seperti di sejumlah negara lain.

Untuk masalah sampah di Ibukota, dalam satu hari saja DKI Jakarta mampu menghasilkan sekitar 2.500 hingga 7.000 ton sampah dan akan terus bertambah setiap harinya. Jumlah sampah sebanyak ini telah menimbulkan banyak keluhan dan masalah, baik antar masyarakat maupun pemerintah.

Untuk itu, Presiden Joko Widodo menyampaikan perlunya upaya penggunaan teknologi untuk segera menyelesaikan permasalahan sampah perkotaan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pun tidak ingin ketinggalan, Lembaga Pemerintah Non Departemen Indonesia yang berada dibawah koordinasi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi ini merekomendasikan teknologi untuk memusnahkan sampah-sampah yang ada.

Peneliti Madya Persampahan BPPT Wahyono mengatakan, ada beberapa teknologi yang ditawarkan. Pertama, dengan proses bio yang mengubah sampah dengan menggunakan mikroorganisme kemudian menguraikan sampah dan memunculkan gas. Kedua, melalui digester anaerobic atau pemanenan gas TPA (landfil) yang menghasilkan biogas dan juga menghasilkan listrik. Terakhir, melalui proses termal yang terdiri dari tiga jenis pengelolaan, yaitu combustion (insenerasi), gasifikasi dan proses pirolisis.

“Untuk proses bio sudah diterapkan di di beberapa TPA diantaranya TPA Bantar Gebang Bekasi, TPA Sukawentan Palembang dan TPA Suwung Denpasar. Sistem bio memiliki kelebihan yaitu ramah lingkungan. Sayangnya, dibutuhkan waktu lama sekitar 20 hari per ton untuk memproses sampah ini menjadi biogas,” terangnya di Jakarta, Rabu (10/01).

Menurut Wahyono, untuk menyelesaikan masalah sampah kota, Indonesia bisa menggunakan teknologi termal. Melalui proses ini, timbunan sampah dalam jumlah besar bisa dibuang dengan cepat. Hanya membutuhkan sekitar satu hingga dua jam saja. Timbunan sampah dalam jumlah besar melalui proses termal (panas) dapat diubah menjadi panas yang kemudian dikonversikan menjadi energi dalam bentuk energi listrik sekitar 30 kWh per ton sampahnya.

“Pengolahan sampah dengan proses termal ini juga digunakan di Jepang, Singapura, Perancis, Austria, dan Finlandia. Tapi sayangnya memang biaya untuk teknologi ini sangat tinggi,” tambahnya.

Di samping itu, ada beberapa hal pula yang harus diperhatikan oleh pemerintah sebelum teknologi ini digunakan. Ketua Tim Lingkungan BPPT Rudi Nugroho mengatakan bahwa untuk awal, Indonesia harus ada kesiapan terlebih dahulu terutama dari segi regulasi. Pemerintah juga harus menyiapkan biaya yang tidak sedikit.

“Misalnya untuk membangun tungku pembakar (insenerator) berkapasitas 1.000 ton saja pemerintah sudah harus merogoh kocek Rp 1,3 triliun. Belum lagi biaya perawatan yang bisa mencapai miliaran. Apa siap?” tegasnya.

Selain biaya, pemerintah juga masih terbentur masalah batas aman limbah. Selama ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru menetapkan kadar gas beracun maksimal untuk insenerator rumah sakit atau limbah B3. Belum ditetapkan batas emisi maksimal untuk gas dari pembakaran sampah. Bila tidak berhati-hati, ada kemungkinan tungku yang digunakan sembarangan malah menambah jumlah polusi.

Ada pula usaha untuk mengubah pola pikir masyarakat. Untuk rumah tangga, misalnya, anggota rumah tangga harus mulai mengerti bagaimana memisahkan antara sampah yang mudah dibakar, organik atau basah, dan masih bisa didaur ulang. Pemisahan ini tidak hanya memudahkan pengangkutan ke tungku, juga menekan volume sampah yang masuk.

“Apalagi aturan pemisahan sampah sendiri sudah tertuang dalam Undang-Undang tentang Sampah tahun 2012, namun pelaksanaannya saja yang masih jarang,” katanya.

Sebagai informasi juga, melalui rapat terbatas di Kantor Presiden pada Jumat (05/02) lalu, pemerintah memutuskan proyek percontohan pengelolaan sampah untuk tenaga listrik di tujuh daerah, yaitu DKI Jakarta, Bandung, Tangerang, Surabaya, Semarang, Solo, dan Makassar. Daerah-daerah tersebut adalah kota besar penghasil sampah di atas 1.000 ton per hari dan kota menengah dengan sampah 200-250 ton per hari.

Penulis: Danny Kosasih

Top