Perempuan Masih Belum Mendapat Tempat Dalam Mempertahankan Lingkungan

Reading time: 2 menit
perempuan pejuang
Mama Aleta Baun, Eva Bande, Gunarti (ke dua, tiga dan empat dari kiri) dan Siti Maimunah (paling kanan) menjadi nara sumber dalam Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air yang berlangsung pada 14-16 Juli 2017 di Garut. Mereka dihadirkan untuk berbagi pengalaman dan memberikan semangat bagi para perempuan yang sedang memperjuangkan lingkungannya. Foto: greeners.co/Renty Hutahaean

Garut (Greeners) – Rusaknya tanah dan sumber air Indonesia akibat eksploitasi alam yang dilakukan oleh korporasi, secara langsung telah merusak pula kesejahteraan hidup dan masa depan perempuan dan keluarganya. Meski begitu, sayangnya, perempuan masih belum mendapatkan kesempatan untuk membela diri bahkan berjuang mempertahankan tanah kelahirannya. Padahal akibat ekploitasi sumber daya alam, perempuan sebagai sosok yang sangat berdekatan dengan ruang sumber daya alam tersebut, sangat rentan terkena dampaknya.

Siti Maimunah, peneliti dan Koordinator Program Beasiswa Sajogyo Institute saat ditemui di sela-sela pelaksanaan Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air mengatakan bahwa masih banyak stigma negatif yang menempel pada perempuan jika terjun untuk melakukan perjuangan. Stigma ini yang menjadi penghalang keberanian dan percaya diri perempuan untuk berjuang.

“Jangankan memimpin perjuangan, mau ikut berjuang saja sudah sulit sekali karena stigma-stigma yang dikonstruksi,” tutur perempuan yang akrab disapa Mai ini, Garut, Minggu (16/07).

BACA JUGA: Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air Pertemukan Para Perempuan Tangguh Indonesia

Ia memberi contoh seperti kasus Aleta Baun atau yang dikenal dengan nama Mama Aleta. Mama Aleta memperjuangkan lingkungan untuk hak-hak masyarakat adat penentang penambangan marmer di Nusa Tenggara Timur. Pada awal perjuangannya, diceritakan Mai, kerap dianggap sebagai Ibu yang tidak bertanggung jawab, pelacur, bahkan dituduh selingkuh dengan tukang ojek karena kerap kali keluar rumah tengah malam untuk mengorganisir perempuan-perempuan adat di tempatnya. “Coba saja jika laki-laki yang seperti itu, tidak akan ada stigma-stigma negatif yang dihadapi,” ujarnya.

Menurut Mai, perjuangan perempuan bukan sesuatu yang mudah untuk didapat. Selain merencanakan strategi, mengorganisir masyarakat dan berjuang untuk tanah kelahirannya, perempuan juga masih harus memikirkan apakah suami dan anak-anak mereka sudah makan atau belum, menyiapkan segala urusan domestik rumah tangga, dimana hal-hal tersebut tidak dilakukan oleh laki-laki.

Selain Mama Aleta, masih ada beberapa perempuan tangguh yang berani tampil untuk memimpin perjuangan untuk membela hak-haknya. Seperti Eva Susanti Hanafi Bande yang memperjuangkan hak-hak petani melawan PT Kurnia Luwuk Sejati serta Gunarti yang menjadi perempuan pertama yang menggerakkan para ibu di desa Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah untuk memprotes penambangan batu kapur di sana.

BACA JUGA: Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air, Merayakan Perjuangan Perempuan bagi Lingkungan

Hanya saja, kata Mai, perjuangan perempuan-perempuan tersebut lahir dari titik balik kehidupan yang telah mereka alami selama bertahun-tahun. Termasuk menjadi target pencarian polisi, hingga dipenjara dan harus meninggalkan keluarga.

“Apa iya semua harus mengalami titik balik terlebih dahulu baru berani untuk tampil berjuang mempertahankan tanah lahirnya? Apa iya harus ada korban dulu? Kan tidak. Nah makanya, perempuan-perempuan yang berada di kampung-kampung yang mengalami permasalahan lingkungan kami pertemukan pada acara Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air agar mereka bisa bertukar pikiran, ide dan cerita perjuangannya masing-masing,” katanya.

Penggunaan istilah ‘Pejuang Tanah Air’ sendiri merujuk pada situasi yang dihadapi oleh para perempuan yang tanah airnya terancam oleh berbagai macam perusak. Sedangkan jambore adalah wadah dimana perempuan-perempuan bertemu, belajar dan bertukar pengetahuan dari berbagai latar belakang.

Nissa Saadah Wargadipura, salah satu penggagas Pesantren Ekologi At-Thaariq, Garut, yang membagikan kisahnya tentang krisis sosial ekologi di Garut, menegaskan bahwa memulai perjuangan memang tidak mudah. Apalagi saat memulai kegiatan pesantren ekologi yang mengusung model bertani agroekologi. Saat baru memulai, banyak cibiran dan ketidakpercayaan masyarakat tentang keberhasilan model pertanian yang mereka usung.

“Dahulunya tidak ada yang percaya pola bertani kami bisa berhasil dengan tidak mengukuti pola pertanian mainstream yang merusak tanah dan air. Apalagi semua kebutuhan pertanian kami menyediakan sendiri, seperti pupuk kami buat sendiri, kami buat bank benih untuk menyimpan benih-benih lokal, kami pelihara ular untuk menyeimbangkan ekosistem. Ini jawaban untuk kemandirian pangan. Agroekologi adalah jawaban dari pesantren bagaimana menjaga hubungan baik antara manusia dan alam karena yang dicari kehormatannya, kemuliaannya, martabatnya, bukan hanya keuntungan semata,” ujar Nissa.

Penulis: Danny Kosasih

Top