Perilaku Buruk Penanganan Sampah Sebabkan Sampah Tetap Menumpuk

Reading time: 3 menit
penanganan sampah
Patrick Thomas, President Plastics Europe, menunjukan buku edukasi tentang penanganan sampah berjudul 'Bright Minds for a Brighter World'. Buku ini ditujukan untuk anak-anak di Thailand. Foto: greeners.co/Ramandha Suci Marchita

Bali (Greeners) – Persoalan sampah masih menjadi masalah serius yang harus segera diatasi oleh negara-negara berkembang yang memiliki jumlah tumpukan sampah cukup besar. Selain regulasi dan sosialisasi dari pemerintah, mengubah perilaku untuk tidak konsumtif terhadap apapun yang menghasilkan sampah juga menjadi penting.

Patrick Thomas, President Plastics Europe, anggota dewan dari Dewan Plastik Dunia, mengatakan, kebiasaan dan perilaku buruk masyarakat yang seringkali tidak berpikir jangka panjang terhadap apapun yang mereka konsumsi, seringkali menjadi penyebab penumpukan sampah. Bahkan saat sampah-sampah tersebut telah menggunung pun, masyarakat masih banyak yang tidak peduli sebelum bencana terjadi dan menimpa diri mereka sendiri.

“Kebiasaan buruk dalam mengonsumsi sesuatu ini menjadi momok yang sulit sekali dipecahkan dalam menangani masalah sampah,” katanya saat berbincang dengan Greeners di sela-sela pelaksanaan World Ocean Summit 2017 di Nusa Dua, Bali, Jumat (24/02) siang.

BACA JUGA: Pemerintah Siapkan 1 Miliar Dolar AS untuk Kejar Target Indonesia Bebas Sampah

Ia memberi contoh, saat masyarakat memutuskan untuk membeli sebuah telepon pintar, misalnya. Apakah pembeli dalam memutuskan jenis atau merek apa yang akan dibeli itu juga menyisipkan pemikiran bagaimana jika telepon pintar itu nantinya rusak dan tidak dipakai lagi. Apakah dibuang ketika telah membeli yang baru? Atau adakah kebijakan dari si produsen telepon pintar untuk mendaur ulang komponen-komponen telepon pintar yang mereka pasarkan.

Menurut Patrick, kebiasaan masyarakat yang tidak berpikir panjang tentang dampak lingkungan dari apapun yang dikonsumsi yang membuat pengelolaan sampah menjadi sulit. Sebaik apapun pengelolaan dilakukan, jika perilaku buruk masyarakat ini tidak segera dirubah, maka hanya akan mengurangi masalah dan bukan menyelesaikannya.

“Sekarang kalau kita beli minuman kemasan seperti air minum dalam gelas kemasan plastik. Untuk pipetnya kan juga ada pembungkusnya. Setelah pipet dibuka, pembungkusnya dikemanakan? Lalu plastik dari tutup kemasan tersebut setelah kemasannya dibuka akan dikemanakan? Setelah airnya habis diminum, kemasan gelasnya dikemanakan? Dibuang begitu saja? Satu orang melakukan itu, menjadi bahaya, tapi kalau ribuan orang melakukannya itu bencana,” ujarnya.

BACA JUGA: World Ocean Summit 2017, Indonesia Juga Menaruh Perhatian pada Isu Kelautan

Patrick mengingatkan bahwa masyarakat harus paham dan mengenal produsen-produsen yang melakukan sistem pengelolaan sampah untuk produk yang pasarkan. Selain itu, regulasi yang kuat dari pemerintah pun harus disosialisaikan dengan baik. Ia mengapresiasi tindakan pemerintah Indonesia yang menerapkan sistem plastik berbayar pada konsumen. Hal tersebut seharusnya bisa menjadi pintu untuk mengubah perilaku masyarakat jika disosialisaikan dengan benar.

“Regulasi ini memang penting, tapi tidak akan menjadi apa-apa jika pesannya tidak sampai ke tingkat masyarakat,” katanya.

Bijak terhadap sampah sejak dini

Untuk mengubah perilaku dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak bahaya jika sampah tidak di kelola, bisa dilakukan pada anak-anak sedini mungkin. Hal tersebut telah ia lakukan di Thailand. Dengan menggunakan pendekatan edukasi yang menarik dan dikemas sedemikian rupa, kesadaran anak-anak dengan sendirinya akan terbangun. Anak-anak, dikatakannya, akan menjadi lebih sadar, paham dan bahkan bisa menjadi “polisi” bagi orang tua mereka sendiri jika orang tuanya melakukan kekeliruan dalam mengelola sampah.

“Di Thailand, saya menggunakan pendekatan edukasi dengan memberikan buku anak-anak yang bercerita dan interaktif. Dalam buku tersebut, anak-anak dikenalkan tentang jenis-jenis sampah, bagaimana mengelolanya dengan sistem 3 R (Reduce, Reuse, Recycle) dan betapa indahnya daratan dan laut kita tanpa sampah,” katanya.

BACA JUGA: Global Mangrove Alliance Targetkan Pemulihan 20 Persen Habitat Mangrove

Permasalahan sampah plastik di laut juga sangat berkaitan erat dengan sampah-sampah yang ada di darat. Hal yang penting untuk diketahui adalah tidak ada yang suka jika plastik berakhir di lautan karena plastik terlalu berharga untuk bisa sampai ke sana. Lalu bagaimana agar sampah plastik tidak sampai ke laut? Di sini, dikatakan Patrick, ada dua permasalahan yang berkelanjutan. Yaitu, masalah sampah khususnya plastik yang tidak selesai di darat hingga akhirnya menimbulkan masalah sampah yang sama di lautan.

Ia menerangkan bahwa untuk mengatasi permasalahan ini dibutuhkan solusi pengelolaan sampah yang benar-benar dijalankan dan terintegrasi dengan masalah limbah di lautan.

Jangan salahkan plastik

Pada akhirnya, jika pengelolaan sampah berjalan dengan baik dan masyarakat sudah mengerti untuk tidak mengonsumsi apapun yang menghasilkan sampah secara berlebihan, khususnya sampah plastik, Patrick yakin kalau tidak akan ada satupun manusia yang suka sampah plastik mereka berakhir di lautan.

“Kenapa begitu? karena plastik merupakan bahan yang sangat mudah untuk di recycle dan bisnis recycle di seluruh dunia telah menjadi bisnis yang sangat besar dan menguntungkan. Plastik menjadi kebutuhan ekonomi masa depan yang banyak dicari oleh negara-negara dengan tingkat bisnis daur ulang yang tinggi. Jadi bukan plastiknya yang salah, tapi coba ubah perilaku dalam mengonsumsi sesuatu dan bijak dalam mengelola sampah milik diri sendiri,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top