Peta Rawan Banjir dan Longsor Baru Mencakup 100 Kabupaten

Reading time: 2 menit
peta rawan banjir
Ilustrasi: greeners.co

Jakarta (Greeners) – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei menyatakan hingga saat ini baru sekitar 100 kabupaten di Indonesia yang masuk dalam peta rawan banjir dan longsor.

Peta rawan banjir dan longsor Indonesia yang saat ini dikerjakan, lanjut Willem, adalah peta rawan banjir untuk 35 provinsi dengan skala 1:250.000. Sementara untuk wilayah kabupaten, peta dikerjakan dalam skala 1:50.000. Itu pun masih belum seluruh kabupaten yang dipetakan.

“Untuk peta rawan banjir terus terang belum semua daerah dipetakan. Baru sekitar 100 kabupaten yang memiliki itu,” ujar Willem, Jakarta, Jumat (09/09).

BACA JUGA: Fenomena La Nina, Masyarakat Diminta Waspadai Banjir dan Longsor

Willem mengatakan, sesuai dengan instruksi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), BNPB akan memprioritaskan penyelesaian peta rawan banjir dan longsor tersebut karena melalui peta itu, prioritas untuk menyelamatkan korban banjir dan tanah longsor akan lebih mudah.

“Kalau merujuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), negara harus menurunkan indeks resiko bencana di 136 kabupaten/kota. Saat ini yang sudah diturunkan itu ada 30 persen. Prioritas jumlah korban bahaya akibat bahaya banjir di Indonesia sendiri saat ini tercatat 63,7 juta jiwa, sementara tanah longsor yakni 40,9 juta jiwa,” tambahnya.

Di sisi lain, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya menjelaskan, musim kemarau basah akan terus terjadi hingga Februari 2017. Diperkirakan 70 persen dari seluruh wilayah Indonesia akan mengalami musim hujan yang maju dan 92,7 persen daerah mengalami musim hujan pada bulan ini.

BACA JUGA: BNPB: 41 Juta Jiwa Masyarakat Indonesia Hidup di Wilayah Rawan Longsor

Beberapa waktu lalu, BMKG juga telah mendeteksi munculnya fenomena La Nina meskipun masih lemah dan diprediksi akan bertahan hingga awal 2017. Bersamaan dengan La Nina, terjadi juga fenomena Dipole Mode Negatif sejak Mei 2016 yang diprediksi akan bertahan hingga November 2016, dan kondisi anomali suhu muka laut yang hangat di sekitar perairan Indonesia. Dengan kondisi demikian, maka dipastikan akan menyebabkan tingginya curah hujan di Sumatera dan Jawa bagian Barat.

Fenomena La Nina sendiri adalah gejala alam yang diindikasikan mendinginnya suhu muka laut di lautan Pasifik Tengah dan Timur. Dampak dari gejala tersebut mengakibatkan jumlah curah hujan yang makin tinggi di suatu daerah. Dampak yang paling nyata salah satunya adalah periode musim kemarau tahun 2016 lebih singkat dan awal musim hujan menjadi lebih awal setidaknya pada 70 persen wilayah Indonesia.

“Fenomena La Nina ini dapat menyebabkan curah hujan tinggi sehingga harus dapat diantisipasi karena berpotensi mengakibatkan bencana alam seperti banjir dan longsor dibeberapa daerah yang memang rawan,” kata Andi.

Penulis: Danny Kosasih

Top