PP 57/2016 Lindungi Upaya Restorasi Gambut

Reading time: 2 menit
restorasi gambut
Foto: Josh Estey for AusAID

Jakarta (Greeners) – Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 sebagai revisi dari PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Direktur World Resources Institute (WRI) Indonesia Tjokorda Nirarta Samadhi mengatakan, dengan merevisi PP Gambut tersebut, Indonesia telah menunjukkan langkah perlindungannya dalam merestorasi lahan gambut.

Menurut Nirarta, Revisi PP ini dibangun dari serangkaian kebijakan yang sebelumnya telah dibuat, termasuk Instruksi Presiden tahun 2011 yang melarang terbitnya izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut. Analisis WRI menemukan bahwa dengan adanya perubahan Peraturan Pemerintah ini, maka pada tahun 2030, total emisi yang dapat dihindarkan dari kerusakan dan pengeringan lahan gambut mencapai sekitar 5,5 hingga 7,8 Giga ton CO2. Ini bergantung dari keberhasilan implementasi restorasi kesatuan hidrologis gambut di dalam konsesi perkebunan.

“Angka ini setara dengan hampir seluruh gas rumah kaca yang dihasilkan oleh Amerika Serikat dalam periode satu tahun,” jelasnya, Jakarta, Kamis (08/12).

BACA JUGA: PP 57/2016 Tegaskan Larangan Pembukaan Lahan Gambut

Lahan gambut menyimpan jumlah karbon yang besar. Ketika dikeringkan atau dibakar untuk pembukaan lahan baru bagi komoditas perdagangan seperti kelapa sawit dan kayu, lahan gambut akan mengemisi karbon ke atmosfer. Analisis WRI menunjukkan bahwa mengeringkan satu hektar lahan gambut di wilayah tropis akan setara dengan membakar lebih dari 6,000 galon bensin. Tahun lalu, kebakaran di atas lahan gambut selama beberapa hari saja telah menyebabkan jumlah emisi yang melebihi emisi harian perekonomian di Amerika Serikat.

“Konservasi lahan gambut akan membantu mengatasi salah satu akar permasalahan kebakaran lahan dan hutan di Indonesia. Dengan adanya revisi dari peraturan ini, maka akan berkontribusi besar terhadap Perjanjian Paris dan memberikan solusi bagi jutaan masyarakat Indonesia yang terkena dampak asap beracun dari kebakaran gambut yang seringkali terjadi,” ujarnya.

Dampak baik revisi PP Gambut tersebut pun diamini oleh Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead. Menurutnya, revisi PP Gambut yang baru saja ditandatangani oleh Presiden sangat berpengaruh terhadap kerja BRG, khususnya pada penguatan aturan tentang penegasan larangan bagi siapapun, baik masyarakat maupun perusahaan, untuk membuka lahan baru sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal ekosistem gambut.

“Saya kira akan sangat berbeda dengan kemarin-kemarin. PP ini saya bisa katakan lebih membantu memperjelas pemantauan dengan adanya titik-titik monitoring air gambut yang dijaga di titik-titik penataan, disepakati semua pihak, alatnya dipasang dan dengan teknologi yang kita kembangkan,” tambahnya.

BACA JUGA: Pemerintah Rampungkan Revisi PP Gambut

Terkait alat pantau, ia menerangkan bahwa alat pantau yang akan dibangun akan bekerja secara real time (keadaan yang sebenarnya) terhadap sekat kanal dan embung yang telah dibangun di lahan gambut se-Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk melihat seberapa efektif sekat kanal dan embung yang telah dibangun.

“Cara melihat keefektifan ini sederhana yaitu dengan cara menyensor ke permukaan bawah gambut untuk mengukur kelembaban, temperatur dan permukaan naik turunnya air. Seluruh data itu nanti akan dikirim dan terkoneksi ke server, jadi bisa dilihat oleh Pak Gubernur, Pak Bupati, perusahaan atau Presiden sekalipun,” ujarnya.

Nazir menambahkan, saat ini pemasangan alat pantau tersebut baru dilakukan di lima provinsi prioritas seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi dan Riau. Untuk Sumatera Selatan dan Ogan Komering Ilir sedang dilakukan pemasangan. Hingga saat ini, pemasangan stasiun pemantau tersebut masih sedikit namun Nazir yakin dengan terbitnya PP 57/2016 yang baru, BRG akan bisa mendorong untuk dilakukannya pemasangan stasiun yang lebih banyak.

“Ini supaya nantinya tren kekeringan bisa langsung terbaca dan tindakan koreksi bisa langsung dilakukan. Dengan adanya ini implementasi PP bisa lebih cepat dan ada tindakan koreksi dari pemerintah untuk pengelolaan lahan. Kalau sampai terbakar akan diambil alih. Dengan adanya monitoring ini kan bisa dihindari. Sebelum terbakar bisa ada tindakan di lapangan,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top