SVLK Bukan Hanya Soal Ekonomi

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: freeimages.com

Jakarta (Greeners) – Kementerian Perdagangan akhirnya memantapkan keputusannya untuk memberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 89/2015 tentang ketentuan Ekspor Produk Kehutanan yang menggantikan Permendag No. 66/2015. Permendag yang baru ini telah ditandatangani oleh Menteri Perdagangan, Thomas Lembong pada tanggal 19 Oktober 2015 lalu.

Dengan berlakunya Permendag No. 89/2015 tersebut, terlihat bahwa ada perbedaan persepsi dan makna terkait arti dan fungsi penerapan SVLK antara Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, Agus Justianto,menyatakan, fungsi awal SVLK adalah untuk memantau dan memperbaiki tata kelola hutan yang lestari di Indonesia.

“Jadi tidak melulu soal untung rugi bisnis seperti yang dikeluhkan oleh Industru Menengah Kecil (IKM),” jelas Agus saat ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis (22/10) kemarin.

Agus pun mengingatkan bahwa semangat awal pembentukan SVLK adalah mencegah kerusakan hutan lebih lanjut di Indonesia dengan menciptakan tata kelola hutan yang baik. Sistem ini, kata Agus, sudah berjalan selama bertahun-tahun setelah adanya pernyataan bahwa tindakan hukum tidak bisa menghentikan aktivitas pengambilan kayu secara ilegal di hutan-hutan Indonesia.

(Kiri ke Kanan) Ketua Komisi IV DPR RI, Edhy Prabowo dan Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, Agus Justianto. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

(Kiri ke Kanan) Ketua Komisi IV DPR RI, Edhy Prabowo dan Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, Agus Justianto. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Mengenai isi dari Permendag No. 89/2015, Agus menyatakan akan meminta penjelasan kepada Kementerian Perdagangan mengenai salah satu pasal yang menyebutkan kalau produk ekspor yang masuk dalam kelompok B yang terdiri dari 15 nomor pos tarif tidak perlu memiliki V-Legal, namun produk tersebut harus berasal dari bahan baku legal.

“Ini perlu penjelasan, karena nanti di bea cukai mereka harus bisa memastikan apakah produk tersebut disertai dokumen yang berasal dari SVLK atau tidak. Selama ini untuk memastikannya, kan, pakai dokumen V-Legal. Nah, kalau dihilangkan, untuk mengetahui bahan baku legal atau tidak siapa yang verifikasi? Jika verifikasi dibebankan ke bea cukai tentu tidak akan sanggup,” ujar Agus.

Kementerian Perdagangan, menurut Agus, masih belum memahami betapa pentingnya dokumen V- Legal. Verifikasi hulu dan hilir perlu dilakukan dalam satu sistem rantai pasokan kayu, yang berarti dari hulu dan hilir semuanya harus dapat dipastikan legalitasnya.

“Kalau di hilir ada produk yang dikecualikan, sistem ini tidak akan berjalan sempurna karena ada celah kemungkinan terjadinya sumber-sumber kayu di hilir yang ilegal,” katanya.

Menurut Agus, Kementerian Perdagangan menganggap bahwa jika pasokan kayu dari hulu sudah legal, maka secara otomatis di hilir pun akan legal. Padahal faktanya, lanjut Agus, produk hilir bisa saja bercampur dengan kayu-kayu yang tidak jelas asal-usulnya.

Ditemui di tempat berbeda, Ketua Komisi IV DPR RI, Edhy Prabowo, menyatakan bahwa sertifikat legalitas kayu diperlukan untuk mengetahui asal-usul kayu yang diperoleh oleh industri. Jika SVLK dilemahkan, lanjutnya, maka para pelaku illegal logging akan terus merajalela dan bertindak semena-mena. “Kita akan kaji dan panggil beberapa pihak terkait isu pelemahan SVLK ini,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top