Tata Kelola Sumber Daya Alam, Walhi Dorong Pembenahan Struktural

Reading time: 2 menit
Deforestasi lahan gambut menjadi perkebunan sawit di Kalimantan Tengah. Foto: flickr.com

Jakarta (Greeners) – Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di tahun 2015 sempat menjadi isu utama yang menarik perhatian semua pihak, mulai dari daerah, nasional dan dunia internasional. Ditambah dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang yang menolak seluruh gugatan terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) atas kasus kebakaran yang terjadi tahun 2014 pada penutup tahun 2015 lalu.

Situasi tersebut dikatakan oleh Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), seperti rangkaian peristiwa yang menarik pada satu kesimpulan bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut belum dianggap sebagai sebuah kejahatan korporasi, meski kerugian dan korban sudah tidak terhitung lagi nilainya.

Demikian juga dengan kasus lingkungan hidup yang lain seperti kasus Gemulo yang dimenangkan oleh perusahaan di tingkat Mahkamah Agung. Kejahatan korporasi yang bertemu dengan mafia peradilan dan sistem politik yang korup, membuat bencana ekologis akan semakin masif terjadi.

BACA JUGA: Restorasi Gambut, Penyelesaian Sengketa Tanah Jadi Prioritas

Walhi menilai, ini juga merupakan tantangan bagi semua pihak untuk terus memperjuangkan perbaikan struktural untuk pembenahan tata kelola sumber daya alam di Indonesia.

“Pemerintah tidak bisa menunda-nunda lagi pembenahan struktural bagi perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam, khususnya pada kawasan ekosistem penting, seperti gambut, karst, pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Jika tidak segera dilakukan, maka tahun 2016 ini, kita hanya akan mengulang krisis yang sama pada tahun-tahun sebelumnya,” tuturnya, Jakarta, Kamis (21/01).

Tahun 2016, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengeluarkan kebijakan Perpres No. 1/2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG) sebagai bagian dari penanganan kebakaran hutan dan lahan gambut dan pemulihan, khususnya pada kawasan gambut. Belajar dari pengalaman sebelumnya, masyarakat tentu berharap agar badan ini bisa lebih progresif melakukan langkah-langkah yang bersifat struktural dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

BACA JUGA: Mantan Direktur Konservasi WWF Indonesia Kepalai Badan Restorasi Gambut

Menurut Abetnego, restorasi kawasan gambut tidak akan berjalan dengan baik, tanpa adanya upaya penegakan hukum dan perbaikan tata kelola. Penegakan hukum harus juga menjadi perhatian badan restorasi gambut ini, khususnya bagi perusahaan yang di wilayah konsesinya ditemukan titik api.

“Pembenahan struktural yang kami maksudkan bukan hanya pada tatanan pengelolaan, tapi juga masuk pada pembenahan aspek hukum yang selama ini tidak mampu menjangkau kejahatan korporasi. Jika ini dilakukan, Walhi meyakini kita akan keluar dari krisis lingkungan dan kemiskinan akibat ketimpangan penguasaan dan pengelolaan Sumber Daya Alam,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top