Revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 Harus Hindari Tumpang Tindih Peran Kementerian

Reading time: 2 menit
UU Nomor 5 Tahun 1990
Ilustrasi Foto : Freepik.com

Situbondo (Greeners) – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memastikan bahwa dalam revisi Undang-Undang khususnya UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati, harus ada kejelasan tentang pembagian tugas dan peran masing-masing kementerian, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Pertanian (Kementan).

Wakil Ketua DPR RI Komisi IV, Herman Khaeron Kepada Greeners, mengatakan bahwa dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 menyebut sebagian besar kewenangan konservasi berada di tangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang isinya mengatur kawasan konservasi, membuat kewenangan tersebut bertabrakan.

“Tumpang tindih peraturan ini  tidak boleh dibiarkan,” katanya saat ditemui di sela-sela peringatan Hari Konservasi Alam Nasional di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Kamis lalu (10/08).

BACA JUGA : Revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 Mendekati Rampung 

Saat ini, ungkapnya, tahapan revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 sudah memasuki pembahasan di Komisi 4 DPR dan penyusunan draft. Dalam waktu dekat, draft penyusunan itu akan diajukan dalam sidang paripurna.

Di lain sisi, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengungkapkan bahwa memang benar kalau sebelum adanya Kementerian Kelautan dan Perikanan, tupoksi pengawasan konservasi kelautan berada dalam wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tetapi setelah adanya pemekaran dan bidang perikanan berdiri sendiri, maka kewenangan itu sudah seharusnya berpindah sesuai dengan tupoksi bidang masing-masing. 

Sesuai dengan UU No.31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan bahwa kawasan konservasi perairan merupakan bagian dari pengelolaan sumberdaya ikan, sehingga tidak dapat dipisahkan dan menjadi bagian utuh dalam pengelolaan sumberdaya ikan secara terpadu. Pengelolaan kawasan laut sebagai bagian dari konservasi perairan adalah mutlak berada pada bagian teknis yang menangani kelautan dan perikanan, dalam hal ini adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Begitu pula dalam pengelolaaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang pengaturannya terdapat dalam UU No. 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil juga menjadi bagian dari kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dalam PP No. 60 Tahun 2007 pasal 53 pun telah disebutkan bahwa KKP ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola  (Management Authority) Konservasi Sumberdaya Ikan.

BACA JUGA : Revisi UU Nomor 5 Tahun 1990, Perluas Kategori Perlindungan Satwa Liar 

Brahmantya menambahkan untuk pengelolaan kawasan konservasi perairan sudah ada Berita Acara Serah Terima 8 KSA/KPA No. BA. 01/Menhut-IV/2009 dan No. BA, 108/MEN.KP/III/2009 tentang serah terima 8 kawasan dari Kemenhut kepada KKP untuk dikelola yaitu Cagar Alam Laut Banda, Kep. Aru Tenggara, Suaka Margasatwa Laut Raja Ampat, Taman Wisata Laut Gili Air, Meno & Terawangan, Taman Wisata Alam Kep. Kapoposang, Taman Wisata Alam Kep. Padaido, Suaka Margasatwa Kep. Panjang, dan Taman Wisata Alam Pieh.

“Dengan demikian sebenarnya sudah terdapat kesepakatan bahwa pengelolaan akan diserahkan kepada KKP, akan tetapi dalam realisasi di lapangan banyak terdapat regulasi yang tumpang tindih dan perlu dicermati sebagai pertimbangan mengenai kewenangan pengelolaan konservasi agar berjalan secara harmonis antara KKP dan KLHK,” tambahnya.

Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya enggan memberikan komentar dan menyerahkan semuanya pada hasil pembahasan revisi Undang-Undang tersebut. “Soal kawasan konservasi laut itu saya tidak ingin berkomentar dulu ya,” tutupnya.

Penulis : Danny Kosasih

Top