Walhi: RPJMN 2015-2019 Masih Bertentangan dengan Komitmen INDC Indonesia

Reading time: 2 menit
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Komitmen Indonesia seperti yang tertera di dalam Intended Nationally Determined Contribution (INDC) pada pelaksanaan Conference of the Parties (COP) 21 UNFCCC di Paris, Perancis dikatakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sangat kontradiktif jika merujuk pada rencana pembangunan nasional yang masih berisiko tinggi.

Kepala Bidang Kajian dan Pengembangan Walhi, Khalisah Khalid menyampaikan bahwa sejak awal, Walhi telah mengkritik INDC Indonesia, yang dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, tidak menghitung emisi dari kebakaran hutan dan lahan. Padahal sudah diketahui kalau sumber emisi Indonesia, sebagian besar dari Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF).

Menurut Khalisah, pemerintah Indonesia seharusnya mengukur ulang baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan juga tata kelola gambut sebagai salah satu hal yang paling mendasar.

“Penurunan emisi dari kebakaran hutan ini belum masuk dokumen INDC. Dalam pidato ada izin-izin gambut yang dimoratorium, tapi kebijakan ini lemah. Tanpa penegakan hukum, moratorium jadi lemah. Kita jadi pesimis, di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan moratorium ada titik api dan kebakaran,” jelasnya saat menggelar konferensi pers via skype dari Paris, Jakarta, Selasa (01/12).

Pada kesempatan yang sama, Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Walhi, Kurniawan Sabar mengatakan, jika dihubungkan dengan rencana pembangunan Indonesia sebagaimana yang termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, antara lain di sektor energi, pembangunan 35 ribu megawatt (MW), sebagian besar masih mengandalkan batubara yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia.

Pernyataan dalam RPJMN, menurut Kurniawan, banyak pula yang berbanding terbalik dengan komitmen Indonesia ditingkat internasional. Pemerintah pusat dan daerah justru memiliki rencana yang jelas untuk melakukan reklamasi pantai. Setidaknya, ada 14 kota sedang dan akan melakukan reklamasi.

Dalam konteks komitmen untuk memperkuat ketahanan pesisir dan pulau kecil sebagaimana tertuang dalam RPJMN, kondisi ini jelas sangat bertolak belakang dalam komitmen Indonesia pada INDC.

“Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29 persen pada 2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat dua kali lipat dari 201 juta ton CO2 pada 2015 menjadi 383 juta ton CO2 pada 2024,” ujarnya.

Sisilia Nurmala Dewi, perwakilan dari HuMa, menyatakan, perhelatan COP21 Paris sebenarnya memberikan bobot yang cukup besar bagi Indonesia. Selain karena perhelatan ini adalah kali pertama Presiden Joko Widodo tampil di UNFCCC, agenda ini dapat dijadikan momentum pembuktian bahwa komitmen Indonesia untuk penanganan perubahan iklim adalah nyata dan bukan sekedar jargon belaka.

“Itu semua harus dijawab dengan sebuah sikap yang jelas dari Jokowi,” katanya.

Dihubungi terpisah, Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Perubahan Iklim Indonesia, mengatakan bahwa naskah INDC adalah naskah kebijakan yang tidak bisa banyak menampung strategi Indonesia dalam COP21 Paris. “Naskah itu kan cuma delapan halaman. Coba bandingkan dengan naskah negara lain. (Strategi penanganan perubahan iklim) Kita sama banyak nya kok. Enggak mungkin kalau semuanya diletakkan dalam INDC,” tegasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top