Teritip, Gemar Menempel di Kapal

Reading time: 3 menit
teritip
Teritip atau ‘barnacle’. Foto: wikemedia commons

Jika anda suka bepergian menggunakan transportasi laut, maka pemandangan sejenis binatang laut dengan tekstur keras seperti cangkang moluska yang suka menempel di tiang-tiang dermaga ataupun di perahu/kapal itu sendiri menjadi pemandangan yang umum kita jumpai di sana.

Binatang laut yang menempel itu dikenal dengan nama “teritip”. Teritip adalah kelompok crustacea dari sub kelas cirripedia, dengan karakteristik bercangkang. Dalam bahasa Inggris, teritip dikenal dengan penamaan ‘barnacle’.

Teritip termasuk dalam hewan laut bersifat sesil (menetap) dari crustacea. Kehidupan teritip melalui dua stadium, yaitu stadium larva yang bersifat planktonis dan stadium dewasa bersifat menempel (Ermaitis 1984).

Hampir semua benda-benda yang terendam dalam air laut merupakan substrat yang baik bagi teritip misalnya batu, besi, dasar perahu, lunas-lunas kapal, pipa saluran sistem pendingin pembangkit tenaga listrik, saluran pendingin pabrik serta alat pengukur arus dan benda-benda lainnya yang ditempatkan di dalam air sepanjang perairan pantai, muara dan teluk yang beriklim sedang, subtropik dan tropik.

teritip

Teritip atau ‘barnacle’. Foto: wikemedia commons

Teritip bersifat menempel permanen pada substrat yang daya tahannya cukup kuat terhadap perubahan lingkungan yang besar. Kemudian biota ini memiliki perkembang-biakannya yang hermaprodit, dimana penyebarannya sangat luas.

Cangkang dewasa teritip berupa mantel yang terdiri dari bagian yang saling berhubungan mengelilingi tubuhnya yaitu: carina, carina lateral, lateral dan rostrum. Di bagian atas terdapat sepasang terga dan sepasang scuta yang membuka dan menutup sewaktu teritip menangkap makanannya. Pada umumnya cangkang dari teritip ini adalah putih, kuning, merah, jingga, ungu dan bergaris dengan ukuran cangkang 1-6 cm atau lebih yang diukur dari dasar carina sampai rostrum.

Menurut pakar kelautan Dr. Anugerah Nontji, teritip memiliki daya tahan yang luar biasa. Beliau mengatakan bahwa di dalam cangkang terdapat tubuh yang sederhana yang disertai dengan 6 umbai-umbai yang berbulu-bulu. Jika terendam air, umbai-umbai tersebut secara beraturan dijulurkan mekar keluar dan ditarik kembali lewat pintu operkulum.

Berdasarkan cara ini teritip menyaring dan menangkap plankton yang terbawa arus kemudian disodorkan kearah mulutnya. Oleh karena itu hanya pada saat arus pasang teritip mempunyai kesempatan mencari makanan.

Apabila air telah surut dan teritip terpapar di udara maka operkulumnya menutup rapat setelah cangkangnya diisi air sebanyak mungkin. Dalam kondisi demikian teritip berdiam diri dalam cangkangnya dan berpuasa untuk sementara. Dalam keadaan terpapar ke udara menyebabkan tekanan lingkungan yang dialaminya cukup berat, misalnya teritip tertimpa hujan atau tersengat panasnya matahari dan ancaman kekeringan.

Massive macrobiofouling 

Teritip termasuk dalam biota-biota yang menimbulkan pengotoran biologis yang disebut juga dengan istilah Biofouling. Mereka termasuk kedalam kelompok biofouling yang makroskopik (macrobiofouling) yang penempelannya bersifat massive pada tiang dermaga.

Indonesia memiliki 85 pelabuhan laut yang terbuka untuk pelayaran internasional. Pelabuhan-pelabuhan tersebut sangat terbuka terhadap kehadiran global invasive species yang hidup sebagai pada kapal-kapal internasional, dimana teritip adalah salah satu komponen utama biofouler pada kapal laut.

Berdasarkan tulisan ilmiah Prabowo dan Ardli, Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (2010) menjelaskan bahwa, kapal laut adalah faktor terbesar dalam penyebaran spesies invasif global. Kapal dapat menjadi ‘media’ batu loncatan yang efektif untuk spesies yang hidup di pelabuhan dan estuaria, karena kapal merupakan substrat yang pas untuk menempel bagi spesies-spesies komunitas biofouling. Oleh karena itu, perhatian dan kewaspadaan terhadap kapal-kapal internasional perlu ditingkatkan karena resiko yang ditimbulkannya bisa sangat menelan biaya.

Kajian Pimentel et al (2000) dikutip dalam Prabowo dan Ardli (2010), melaporkan bahwa kerugian dan biaya yang ditanggung oleh negara Amerika Serikat akibat spesies invasif adalah sebesar US$ 138 juta per tahun, suatu angka dan gambaran yang sangat mahal untuk penanganan hama spesies invasif pertanian dan maritim.

Penulis: Sarah R. Megumi

Top