Jatna Supriatna, Peneliti yang Gemar Bertualang di Hutan

Reading time: 5 menit
Jatna Supriatna. Foto: greeners.co/Teuku Wildan

Jakarta (Greeners) – Pada awal bulan November lalu, Greeners sempat melakukan wawancara dengan salah seorang peneliti keanekaragaman hayati kawakan di Indonesia, yaitu Jatna Supriatna. Ditemui di kantor Yayasan Upaya Indonesia Damai, Jatna tampak seperti orang kebanyakan, santai dan luwes. Tidak terkesan seperti ilmuwan atau ahli biologi yang telah menemukan beberapa spesies baru dan telah menuliskan lebih dari 100 jurnal ilmiah internasional.

Selayaknya satwa yang hidup di alam liar, Jatna mengaku dirinya enggan terkekang dan tertekan oleh pekerjaan. Sejak remaja, ia tidak ingin bergelut pada pekerjaan yang menetap dan statis. Suasana kerja yang dekat dengan alam menjadi impiannya saat itu.

“Awalnya ada dua pekerjaan yang ingin saya tekuni. Yang pertama itu jadi dokter hewan, kedua jadi peneliti hewan,” ujar Jatna membuka cerita.

Menjadi anggota organisasi pecinta alam di bangku SMA dan kuliah membuat Jatna tidak dapat melepas alam dari kehidupannya. Ia bahkan mengaku telah berkemah di hutan sedari SMP. Pekerjaan sebagai peneliti pun dapat membuatnya sering berpergian sekaligus membuatnya selalu dekat dengan alam.

Bagi Jatna, bekerja sebagai peneliti hewan merupakan hal yang sangat menyenangkan. Ia bahkan tidak keberatan untuk mengikuti ritme obyek penelitiannya. Ia menyontohkan saat dirinya meneliti hewan malam. Mau tidak mau, ia harus mengikuti “jadwal” kehidupan hewan tersebut. Pada akhirnya, Jatna pun harus melakukan pekerjaan malam hari dan menggunakan waktu siang hari untuk beristirahat.

“Jadi memang peneliti tidak dikejar waktu dan tidak di pressure karena dia bisa menentukan waktunya kapan untuk meneliti,” ujarnya.

Meneliti hewan di hutan telah digelutinya sejak tahun 1974, dua tahun sebelum ia meraih gelar Sarjana Muda di Universitas Nasional. Sejak saat itu hingga kini, Jatna telah mendatangi hutan di lebih dari 70 negara.

Pengalaman meneliti di hutan membuat Jatna merasakan penyakit malaria berulang kali saat meneliti hutan-hutan Indonesia, seperti di hutan Tanjung Puting, Mentawai, Sulawesi Selatan dan Papua.

Ia pun bercerita pernah harus mendayung sampai berjam-jam saat sedang diserang malaria. Pengalaman ini ia dapat saat sedang meneliti hutan di Mentawai, Sumatera Barat. “Waktu itu saya harus mendayung perahu sampai 4-5 jam untuk ke rumah sakit,” kenangnya sambil tertawa.

Top