Nur Hidayati: Indonesia Belum Merdeka dari Tata Kelola Lingkungan yang Buruk

Reading time: 3 menit
nur hidayati
Nur Hidayati. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Satu hari sebelum perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 71 tahun, Greeners sempat menemui Nur Hidayati di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Di tengah jadwal yang padat sebagai Direktur Eksekutif Nasional Walhi periode 2016-2020, Yaya, begitu ia kerap disapa, menerima permintaan Greeners untuk melakukan sesi wawancara.

Sudah lebih dari 20 tahun Yaya bergelut dengan isu-isu yang terkait dengan lingkungan hidup dan pembangunan. Perempuan yang pernah menimba ilmu di Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung hingga menyandang gelar Sarjana Teknik pada tahun 1997 ini berpendapat, hingga kini tata kelola lingkungan hidup di Indonesia masih buruk. Ia bahkan menyatakan bahwa Indonesia masih belum merdeka karena masyarakatnya masih kesulitan mengakses sumber daya alam.

Ramah dan sederhana namun kritis dalam berpendapat, itu yang tertangkap dari sosok Yaya. Simak perbincangan Greeners dengan Nur Hidayati lebih lanjut dalam artikel ini.

Greeners (G): Sudah 71 tahun Indonesia merdeka, bagaimana Mbak Yaya melihat tata kelola lingkungan hidup Indonesia hingga saat ini?

Nur Hidayati (NH): Jika ingin dikaitkan dengan kemerdekaan, Indonesia masih sangat jauh dari kata baik, ya, khususnya dalam hal tata kelola lingkungan dan sumber daya alamnya. Saya malah bisa bilang, kita belum merdeka khususnya bagi sebagian masyarakat yang hidupnya terdampak dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang eksploitatif.

G: Apa itu artinya pemerintah belum berpihak pada kesejahteraan masyarakat dan keberlangsungan alam Indonesia?

NH: Ada hak mendasar yang belum didapatkan oleh seluruh rakyat Indonesia jika merujuk pada mandat konstitusi bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat itu adalah hak asasi manusia. Sayangnya, hingga saat ini hak tersebut belum bisa dipenuhi oleh negara.

G: Misalnya?

NH: Begini, coba kita lihat dari sisi yang esensial saja. Kondisi air dan udara semakin buruk dan tidak ada perbaikan kualitas. Dua hal yang paling mendasar dibutuhkan oleh manusia sebagai rakyat Indonesia saja masih belum bisa dipenuhi oleh negara. Belum lagi kalau kita mau bicara soal kondisi lingkungan yang lebih luas. Bencana ekologis yang terjadi setiap tahun itu seperti tidak pernah ditanggapi serius.

G: Apa itu terkait dengan tata kelola lingkungan yang buruk?

NH: Semua bencana ekologis yang terjadi memang berpangkal dari tata kelola lingkungan yang buruk dan tidak memperhatikan aspek kelestarian. Masalahnya adalah tidak ada akses bagi masyarakat dalam mengontrol sumber daya alam di sekitar mereka. Padahal, masyarakat yang tinggal di lokasi-lokasi yang kaya akan sumber daya alam telah membuktikan bahwa cara-cara adat yang mereka lakukan telah berhasil menjaga alam dan lingkungan secara turun-temurun. Bencana ekologis yang marak terjadi ini seharusnya sudah menjadi penanda bahwa sedang terjadi tata kelola lingkungan yang buruk.

G: Jadi kita belum merdeka?

NH: Iya. Selama 71 tahun ini sebenarnya kita belum merdeka jika dilihat dari sisi akses warga negara terhadap sumber daya alamnya. Hak warga negara atas lingkungan yang bersih dan sehat secara cuma-cuma, itu belum merata.

G: Lalu bagaimana peran pemerintah saat ini?

NH: Pemerintah sebagai pihak yang diberikan mandat untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam Indonesia masih berorientasi pada keuntungan ekonomi jangka pendek, eksploitasi industri ekstraktif, dan masih mengandalkan perkebunan jenis monokultur.

G: Perkebunan monokultur itu kan masih menjadi andalan?

NH: Masih. Masih sangat menjadi andalan karena pemerintah merasa perkebunan monokultur berperan besar dalam menambah devisa negara. Padahal, kerusakan lingkungan yang terjadi akibat perkebunan monokultur sangat besar dan membutuhkan biaya pemulihan yang sangat besar pula. Kita lihat kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun, degradasi ekosistem hingga hilangnya biodiversitas. Itu semua dampak dari perkebunan monokultur yang tidak pernah dihitung oleh pemerintah.

G: Lalu bagaimana dengan industri ekstraktif lain seperti pabrik semen misalnya?

NH: Terkadang beberapa sektor yang sudah menjadi prioritas untuk diturunkan emisinya seperti industri pabrik semen, malahan terus ditingkatkan. Kalau kita lihat sekarang ini, banyak pabrik-pabrik semen baru yang mau dibangun. Ini kan kontradiktif. Kalau memang ingin menurunkan emisi, kenapa malah mendirikan pabrik-pabrik semen baru? Jadi ini menggambarkan tata kelola yang buruk itu tadi.

G: Nah, kalau soal dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) yang sedang disusun, ada tanggapan?

NH: Komitmen Indonesia itu kan mengejar 29 persen penurunan emisi di tahun 2030. Ini kan sebenarnya masih banyak ketidakjelasan dari sisi base line (perhitungan dasar) dari setiap sektor. Apalagi kalau kita melihat komitmen dari pemerintahan yang lalu, dari 26 persen ke 41 persen, itu juga masih belum terbuka hasil evaluasinya.

G: Jadi, apa yang harus dilakukan?

NH: Rencana-rencana pemerintah di berbagai sektor itu harus diperhatikan. Misalnya sektor energi, target penurunan emisi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menjadi program pemerintah itu sangat kontradiktif. Apalagi kerjasama antar sektor dalam menyusun dokumen NDC yang saat ini dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saya akui itu agak sulit.

G: Setelah 71 tahun Indonesia merdeka, apa yang seharusnya dimiliki dalam pemerintahan untuk memperbaiki tata kelola lingkungan hidup?

NH: Hal pertama yang harus dimiliki adalah visi. Pemerintah harus memiliki visi yang jelas, mau seperti apa Indonesia dengan kondisi lingkungan yang ada. Visi itu yang harus diperhatikan lebih dahulu karena jika visi ini tidak selesai, maka akan terjadi tata kelola yang buruk. Akan ada tambal sulam dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat. Pemerintah harus melihat lingkungan hidup dan sumber daya alam sebagai ruang hidup dan ruang untuk berkehidupan.

Penulis: Danny Kosasih

Top