Peni Susanti, Terus Berjuang Benahi Sungai Ciliwung

Reading time: 5 menit
gerakan ciliwung bersih
Ketua Umum dari Gerakan Ciliwung Bersih, Peni Susanti. Foto: greeners.co/Anggi Rizky Firdhani

Jakarta (Greeners) – Gaya bicaranya lembut, ramah, dan begitu keibuan. Begitulah sosok dari Ir. Peni Susanti, Dipl.Est ketika ditemui oleh Greeners di kantor Gerakan Ciliwung Bersih (GCB) pada hari Selasa (22/08) lalu. Namun dibalik kelembutannya, wanita yang lahir di Jakarta pada tanggal 30 Juli tahun 1955 tersebut merupakan sosok yang gigih dan penuh semangat dalam memperjuangkan lingkungan hidup. Saat ini, Peni dikenal sebagai Ketua Umum dari Gerakan Ciliwung Bersih.

Kepada Greeners, Peni menceritakan bahwa dirinya sudah tertarik dengan isu lingkungan sejak dirinya masih kecil. Ia mengaku bahwa sedari dulu dirinya tidak suka melihat sesuatu yang terlihat lemah, termasuk tanaman yang layu. Peni akan merasa geram bila melihat tanaman menjadi layu karena tidak disiram. Dari situlah, ia menyadari bahwa passion dalam dirinya terhadap isu lingkungan hidup mulai tumbuh. Berangkat dari hasratnya tersebut, Peni memutuskan untuk mengambil jurusan Arsitektur Lanskap saat berkuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Setelah menyelesaikan studinya , wanita yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta pada periode 2008 hingga 2012 tersebut mulai aktif berkecimpung dalam dunia lingkungan hidup. Pada tahun 1982, Peni menjadi Kepala Sub. Bagian Air Minum di Biro Kependudukan Lingkungan Hidup (BKLH) DKI Jakarta. Bermula dari situ, Peni memiliki ketertarikan khusus pada sungai, khususnya Sungai Ciliwung. Ia merasa miris melihat kondisi Sungai Ciliwung saat itu, dan tekadnya untuk “menyelamatkan” Ciliwung perlahan mulai tumbuh.

“Seperti yang kita tahu, Sungai Ciliwung merupakan sumber air minum. Saat itu, saya cemas melihat kondisi Sungai Ciliwung yang begitu tercemar bagaikan comberan. Ngeri sekali kalau kita harus minum air dari sumber yang tercemar. Saya cemas memikirkan hal ini, sampai-sampai banyak warga Jakarta, termasuk saya, yang tidak mau minum air yang berasal dari PAM (Perusahaan Air Minum). Akibatnya, banyak warga yang mengandalkan air tanah. Kalau dibiarkan seperti ini terus, lama-lama Jakarta akan mengalami krisis air dan tanah bisa amblas,” ujarnya.

“Karena saya begitu concern dengan air, sungai dan lingkungan hidup, saya pun melanjutkan studi magister saya di Belanda dengan mengambil jurusan Teknik Lingkungan pada tahun 1988. Saat itu, saya berfokus kepada permasalahan air. Tesis saya juga membahas mengenai limbah yang mencemari Sungai Rhine,” tutur Peni menambahkan.

(Selanjutnya…)

Top