Zaini Alif, Mencintai Lingkungan lewat Permainan Tradisional

Reading time: 4 menit
zaini alif
Zaini Alif, sang "Doktor Permainan". Foto: dok. pribadi

Papan putih besar bertuliskan “Doktor Permainan”, itulah yang pertama kali Tim Greeners temukan saat berkunjung ke kediaman Zaini Alif di Dago Pakar, Bandung. Suasana yang masih hijau dan asri, membangkitkan kembali ingatan masa kecil ketika kita masih sering bermain bersama teman-teman diluar rumah. “Permainan tradisional membantu menemukan jati diri kita,” tutur pria kelahiran Subang ini.

Menurut Zaini, permainan tradisional tidak hanya sekadar menyenangkan tapi juga memiliki nilai filosofis yang kental. Pada setiap permainan, masing-masing memiliki cara yang unik untuk mengemas nilai yang ditanamkan.

Permainan galasin misalnya. Kemampuan sosial sangat dilatih pada permainan ini. Inti permainannya adalah menghadang lawan agar tidak bisa lolos melewati garis ke baris terakhir secara bolak-balik dan untuk meraih kemenangan seluruh anggota grup harus secara lengkap melakukan proses bolak-balik dalam area lapangan yang telah ditentukan. Pada permainan tradisional, kemampuan anak untuk berempati dengan teman, kejujuran, dan kesabaran adalah hal yang sangat penting.

“Permainan tradisional juga mengenalkan anak pada alam,” tutur Zaini. “Anak-anak mulai mengenal dirinya dan lingkungan sekitarnya lewat bermain, misal dengan Kolecer anak bisa mengenal angin, main icikibung anak bisa mengenal air, leuleutakan anak bisa mengenal tanah, sondah mandah bisa mengenal batu.”

Zaini menekankan dengan berinteraksi langsung dengan alam akan tumbuh rasa sayang dan memiliki kepada alam tempatnya bermain sehingga ketika tumbuh besar anak-anak tidak akan semena-mena pada alam. “Anak-anak akan merasa perlu dan kemudian menjaga lingkungannya, hal ini akan dibawa sampai dewasa,” tambahnya.

Pencemaran lingkungan yang kian marak dan perilaku yang tidak bersahabat dengan alam merupakan salah satu indikasi bahwa manusia tidak lagi dekat dengan alam dan menganggap alam hanya sebagai pemenuh kebutuhan semata. Hal ini bisa jadi merupakan indikasi bahwa generasi sekarang adalah generasi yang kurang “bermain”.

Ketiadaan akses permainan tradisional kepada anak-anak terutama yang tinggal di perkotaan, menurut Zaini, adalah salah satu alasan kurang populernya permainan tradisional dibandingkan dengan permainan modern. Kedekatan gaya hidup dengan teknologi, seperti gadget, handphone, komputer membuat pilihan bermain anak semakin sempit. Disamping itu, kekhawatiran orang tua bila anak dapat terkena penyakit dari berkotor-kotoran dan bermain keluar juga menjadi alasan yang dominan. “Kalau sekarang bermain tanah itu jijik, kotor. Padahal tidak semuanya seperti itu,” jelasnya.

Dari keprihatinan itu, pria kelahiran tahun 1975 ini membentuk komunitas HONG sebagai wahana untuk masyarakat mengenal sekaligus melestarikan permainan tradisional Indonesia. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Zaini dari tahun 1996, sampai saat ini telah tercatat sekitar 2.500 permainan tradisional dari seluruh Indonesia, dengan 250 diantaranya berasal dari Jawa Barat.

Top