Pandemi, Temuan Kasus TB Tanah Air Merosot Tajam

Reading time: 3 menit
Pandemi, Temuan Kasus TB Tanah Air Merosot Tajam
Pandemi, temuan kasus TB tanah air merosot tajam. Menurunnya temuan kasus TB dapat berdampak buruk pada penanganan TB. Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Pandemi Covid-19 menyebabkan gangguan pada pelayanan fasilitas kesehatan. Gangguan ini salah satunya berdampak pada penanganan tuberculosis (TB). Laporan terbaru World Health Organization (WHO) menunjukkan akses masyarakat ke layanan TB menjadi tantangan. Tanpa investasi yang kuat, dunia akan luput mencapai target global pencegahan dan pengobatan TB.

Di banyak negara, sumber daya manusia, keuangan, pelayanan pengobatan, serta sistem pengumpulan dan pelaporan data terdampak negatif. Padahal, sebelum pandemi Covid-19, penanganan TB memiliki kemajuan yang stabil. Secara global, antara 2015 hingga 2019 penurunan kasus tercatat sebesar 9 persen dan penurunan kematian sebesar 14 persen.

Ully Ulwiyah, Ketua Yayasan Pejuang Tangguh Tuberkulosis Resisten Obat (RO) Jakarta, menemukan masalah pandemi terutama terkait pendampingan pasien TB. Di masa pandemi, pendamping pasien tidak bisa berinteraksi langsung. Selain itu pertemuan pasien dengan pendamping juga dibatasi. Pasien TB pun mengeluhkan terbatasnya ruang rawat yang meningkatkan kekhawatiran pasien TB untuk tertular virus Covid-19.

“Di masa pandemi rumah sakit sebagai rujukan Covid-19 membuat prioritasnya untuk Covid-19, sehingga ruang rawat untuk TB berkurang. Artinya masyarakat dan pasien khawatir berlebih. Jangan sampai kekhawatiran ini menganggu pengobatan,” ujar Ully pada diskusi daring Tuberkulosis di Tengah Pemberitaan Covid-19, Jumat, (23/10/2020).

Isu di Tengah Masyarakat Pengaruhi Pengobatan TB

Pada kesempatan yang sama, Ully mengungkap isu di tengah masyarakat yang menjadi faktor turunnya angka pasien yang mulai pengobatan TB. Desas-desus yang Ully dengar, yakni masyarakat cemas pihak Puskesmas akan disalahartikan ketika merujuk pasien TB ke rumah sakit.  Ully melanjutkan, pendamping dan pasien TB khawatir gejala TB dianggap sebagai gejala Covid-19. Kesalahpahaman ini ditakutkan akan berujung pada pelayanan pengobatan yang tidak ditujukan untuk TB melainkan untuk Covid-19.

“Hal seperti itu yang pada akhirnya para pasien TB tidak disetujui keluarganya untuk mengecek keadaan dan memeriksa kondisi TBnya. Oleh karenanya angka pasien dan kasus TB menurun,” terang Ully.

Kondisi ini terpampang dalam laporan WHO 2020. Data WHO dari 200 negara per Januari hingga Juni 2020 menunjukkan penurunan signifikan dalam pemberitahuan kasus TB. Penurunan 25 hingga 30 persen dilaporkan di tiga negara dengan beban tinggi penyakit TB, yakni India, Indonesia, Filipina.

Model WHO: Merosotnya Temuan Kasus TB Dapat Berujung Bahaya

Pada kesempatan yang sama, Senior Program Manager Stop TB Partnership Indonesia (STPI) Lukman Hakim menyampaikan jika merujuk model WHO, penurunan dalam pemberitahuan kasus  dapat menyebabkan peningkatan dramatis pada kematian TB. Lukman mengakui masalah TB selama pandemi semakin terpinggirkan. Kampanye TB seolah melangkah mundur akibat atensi masyarakat yang lebih berfokus ke Covid-19.

Padahal, lanjut Lukman, dampak TB tidak kalah berbahaya dibandingkan dengan COVID-19. Berdasarkan data yang dirilis pada 2020, WHO menempatkan Indonesia pada peringkat kedua di dunia kasus TB terbanyak, setelah India yakni total 2,6 juta kasus. WHO mencatat kasus TB di Indonesia mencapai 845 ribu, sekitar 24 ribu kasus resisten obat. Dari angka tersebut, hanya 67 persen atau sekitar 562 ribu kasus yang ditemukan dan diobati. Total kematian mencapai 96 ribu jiwa.

“Kita khawatir pandemi ini melupakan TB, oleh karena itu di awal-awal Covid, kita sudah berkomunikasi dengan Kementerian Kesehatan, dimunculkan protokol layanan TB di masa pandemi untuk tetap berlangsung selama pandemi Covid-19. Kami juga menjalankan tiga peran kunci dalam target eleminasi penyakit TB pada tahun 2030 nanti. Di antaranya peran advokasi dan kebijakan, peran pendampingan dan layanan pasien TB, serta peran pengembangan pengetahuan masyarakat,” ujar Lukman.

Aktivis Tuntut Pemerintah Serius Implementasikan Regulasi tentang TB

Untuk masalah kebijakan, Lukman menyayangkan aturan terkait TB yang hanya tertulis di atas kertas namun impelementasinya tidak dijalankan dengan baik dan benar. Terutama kebijakan yang ada di peraturan daerah.

“Saat ini tidak ada daerah yang bisa dijadikan percontohan penanganan TB, karena saya melihat pola penanganan lebih sentralistik dan tidak banyak memiliki inovasi dan kreativitas untuk memperkuat penanganan TB. Mungkin Cimahi bisa menjadi model percontohan tapi starteginya masih harus diperkuat,” kata Lukman.

Oleh karenanya, STPI saat ini mencoba pola proses internalisasi di semua pihak. Proses ini ditujukan “menggeber” atau mendistribusi pengetahuan TB ke semua pemangku kepentingan agar dapat diketahui dan dipahami. Dengan demikian, setiap pemangku kepentingan berkomitmen untuk sadar dan melakukan penguatan penanganan TB di daerah-daerah. Kata Lukman, tanpa fase ini regulasi hanya tulisan di atas kertas saja.

“Pola yang akan dilakukan dengan sebanyak mungkin paritispasi oleh semua pihak. Kalau Perda pembentukannya dilakukan baik, saya akan optimis TB akan berpengaruh kepada peencanaan dan pendanaan dalam konteks eleminasi TB. Karena kontrol akan muncul,” kata dia.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Ixora Devi

Top