Perempuan Adat Tuntut Penerapan Nilai Ekonomi Karbon yang Inklusif

Reading time: 2 menit
Perempuan Adat Tuntut Inklusivitas dalam Penerapan Nilai Ekonomi Karbon
Perempuan adat menuntut pengakuan dan pelibatan dalam penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Kesepakatan Paris membaiat Indonesia untuk memenuhi target penurunan 29 persen emisi gas karbon. Keterlibatan semua pihak pun esensial dalam pemenuhan target ini. Di lain sisi, masyarakat adat merasa tidak dilibatkan dalam upaya pemenuhan target penurunan emisi. Masyarakat adat, terutama perempuan dari masyarakat adat, merasa upayanya dalam menekan emisi gas karbon tidak diakui negara. Padahal, perempuan masyarakat adat berpeluang menyelesaikan masalah mengakar dari emisi karbon. Sebut saja masalah akses dan pengakuan hak masyarakat adat.

Demikian pandangan Ketua Umum Perempuan Asosiasi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), Devi Anggraeni, dalam webinar Potensi Nilai Ekonomi Karbon dan Implementaasinya di Indonesia, Rabu (21/10/2020). Devi menegaskan, tanpa pengakuan hak masyarakat adat, tidak ada reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. No right, no reed.

Lebih jauh, dalam konflik perhutanan perempuan adat masuk dalam kelompok yang paling rentan. Padahal, menurut Devi, perempuan adat merupakan aktor kunci penurunan emisi. Dia bercerita, dalam kehidupan sehari-hari, perempuan memegang fungsi utama dalam mengatur ketahanan hidup komunitas masyarakat adat.

“Tapi perspektif atas kepentingan perempuan adat atas pengelolaan tanah di wilayah adatnya itu hampir tidak pernah didengarkan. Baik di dalam maupun di luar masyarakat adat itu sendiri,” protes Devi.

Devi bersaksi, masyarakat adat terutama perempuan adat sudah melakukan proses penekanan emisi karbon pada tataran yang konkret. Dia mencontohkan keterlibatan perempuan adat dalam merehabilitasi wilayah bekas tambang batu bara di Barito Timur, Kalimantan Tengah. Penghijauan kembali perempuan adat lakukan dengan menanam tanaman bekas dan tanaman untuk bahan baku, misalnya tanaman untuk bahan anyaman.

Devi lalu mendesak pemerintah untuk hadir bagi masyarakat adat. Kehadiran pemerintah sangat penting terutama dalam penguatan kapasitas dan bantuan dana bagi masyarakat adat untuk menurunkan emisi karbon. Terutama, lanjut Devi, mengenai pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat.

“Kalau tidak ada perlindungan hak akan sulit menerima proses (penurunan emisi) itu. Itu juga akan terkait pengakuan wilayah adat. Memberi ruang bagi pengetahuan masyarakat adat dan perempuan adat dalam pengelolaan alam dan wilayah adat bisa dikembangkan,” tutur Devi.

Baca juga: Kepala BNPB Tekankan Pengelolaan Sungai Guna Antisipasi Dampak La Nina

Penerapan Nilai Ekonomi Karbon dalam Menekan Emisi

Selain menyinggung peran masyarakat adat, acara yang sama juga membahas Nilai Ekonomi Karbon (NEK). NEK merupakan biaya yang mesti dibayar atas adanya emisi gas rumah kaca (GRK) atau karbon yang dihasilkan. Asisten Utusan Khusus Presiden-Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI) 2010-2019, Kuki Soejachmoen, menjelaskan NEK berpotensi menjadi salah satu cara agar Indonesia mewujudkan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC).

Kuki menjelaskan, salah satu penerapan NEK adalah dengan menerapkan pajak karbon. Yakni  memberikan harga tertentu atas emisi GRK sesuai emisi yang dihasilkan.

“Semakin tinggi emisi, semakin mahal yang dibayarkan,” jelas Kuki.

Dalam penerapannya, lanjut Kuki, NEK memanfaatkan pasar karbon yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi dan perpindahan reduksi emisi GRK. Pasar karbon ini terdiri dari pasar karbon internasional dan pasar karbon domestik. Kedua pasar ini, lanjutnya, dapat menggunakan jenis transaksi wajib maupun sukarela. Dengan demikian, Indonesia bisa memanfaatkan pasar karbon internasional, tapi tetap mementingkan pasar karbon domestik atau nasional untuk mencapai NDC Indonesia.

Pasar domestik, lanjut Kuki, harus memenuhi serangkaian persyaratan. Persayaratan bagi pasar karbon domestik antara lain penentuan batas emisi GRK tingkat nasional; penetapan sektor dan emisi yang diatur; alokasi izin emisi; fleksibilitas dalam pemenuhannya; kelembagaan dari perilaku di dalamnya; pemanfaatan penerimaan pemerintah dari pasar karbon domestik; dan penyediaan insentif bagi pelaku pasar sukarela yang akan menjadi pemasok offset.

“NEK dan instrumen-instrumennya untuk pasar domestik perlu dan penting dilaksanakan agar membantu pencapaian NDC Indonesia,” tutup Kuki.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

Top