Mengenal Cacing Laut atau Laor dari Maluku

Reading time: 2 menit
Laor
Cacing laut atau disebut oleh masyarakat Maluku sebagai Laor adalah fauna yagng terdapat di daerah pasang surut hingga laut dalam. Foto: shutterstock

Polychaeta atau yang umum dikenal sebagai cacing laut adalah salah satu fauna dari Filum Annelida. Hewan ini paling dominan di komunitas makrozoobentos atau ekosistem di dasar perairan jika dilihat dari jenis maupun jumlahnya.

Sebaran cacing laut sangat luas, mulai dari daerah pasang surut hingga laut dalam. Hingga saat ini, lebih dari 10.000 jenis di antaranya telah dideskripsikan dan diperkirakan mencapai 25.000-30.000 jenis (Hutchings, 1998). Indonesia sendiri memiliki keanekaragaman cacing laut sebanyak 525 jenis yang terhimpun dalam 189 marga dan 44 suku (Oseana, 2013).

Baca juga: Binturong, Musang Pohon Bertubuh Besar

Makrofauna ini juga hanya dapat bertahan hidup selama tidak lebih dari dua tahun. Sejumlah spesies bahkan memiliki jangka hidup yang lebih pendek, yaitu sekitar 30-45 hari. Cacing laut dapat hidup di berbagai habitat seperti dasar berlumpur, berpasir, dan berbatu (Yusron, 1985).

Pada umumnya mereka memiliki tubuh yang lunak, langsing, dan berbentuk silindris. Warnanya juga menarik seperti merah, hijau, biru, cokelat dan lain-lain yang disebabkan adanya pigmen zat warna pada tubuh. Cacing laut yang hidup pada terumbu karang seringkali membentuk cangkang kapur dan berperan secara biologis sebagai pengurai batu karang (Oseana, 1985).

Laor

Cacing laut atau laor. Foto: shutterstock

Berdasarkan penelitian Sintje Liline (2017) dari Universitas Pattimura dalam Jurnal Ilmiah Biopendix, masyarakat Maluku khususnya Pulau Ambon telah mengenal dan mengonsumsi cacing laut (Polychaeta) sejak dahulu. Warga setempat juga menyebut cacing laut sebagai Laor.

Laor adalah salah satu biota khas perairan Maluku (Radjawane, 1982) atau dikenal dengan nama cacing Wawo. Hewan lunak ini muncul ke permukaan air sebanyak satu kali dalam setahun, yaitu pada Maret atau April saat malam purnama maupun beberapa hari setelahnya.

Baca juga: Tawon, Serangga Predator Serupa Lebah

Faktor yang mendukung kehadiran Laor didorong oleh pasang surut air laut dan kadar garam. Kondisi ini digunakan cacing untuk bereproduksi, sebab, terjadi transisi musim dari panas (barat) ke musim hujan (timur). Dalam penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa biota laut ini muncul untuk melakukan swarming, yakni peristiwa ketika cacing laut dari jenis tertentu berkerumun dalam jumlah melimpah di sekitar permukaan air untuk melakukan perkawinan secara eksternal.

Laor adalah hewan yang hidup berkoloni dan harus tetap berada di lingkungan air laut dengan kadar garam yang tinggi agar tidak membusuk (Radjawane, 1982). Hewan ini biasanya ditangkap oleh penduduk lokal di pantai-pantai berkarang menggunakan seser tradisional dan dijadikan bahan pangan tradisional (Pamungkas, 2009a). Selama ini masyarakat Desa Latuhalat, Desa Allang, dan Desa Hutumuri di Pulau Ambon memanfaatkan Laor sebagai bahan pangan tradisional karena dipercaya mengandung banyak protein. Umumnya cacing ini diolah oleh masyarakat dengan cara digoreng, dipepes, dan digarami.

Taksonomi Laor

Penulis: Sarah R. Megumi

Top