Gerhana Bulan Total Hiasi Langit Indonesia, Ini Penjelasan Peneliti BRIN!

Reading time: 2 menit
Gerhana bulan total. Foto: BRIN
Gerhana bulan total. Foto: BRIN

Jakarta (Greeners) – Fenomena astronomi langka menghiasi langit Indonesia pada malam 7–8 September 2025, yakni Gerhana Bulan Total (GBT). Peristiwa ini kerap disebut “Blood Moon” atau Bulan Merah Darah karena rona merah dramatis yang tampak selama puncak gerhana.

Gerhana Bulan Total terjadi ketika Bumi berada tepat di antara Matahari dan Bulan saat fase purnama. Sehingga, bayangan Bumi sepenuhnya menutupi permukaan Bulan. Proses ini membuat Bulan tidak menghilang total dari pandangan, melainkan berubah warna menjadi kemerahan.

Menurut data ilmiah, fenomena ini berlangsung sekitar 82 menit, salah satu yang terlama dalam dekade ini. Peneliti Ahli Utama BRIN Bidang Astronomi dan Astrofisika, Thomas Djamaluddin menjelaskan bahwa fenomena bulan merah darah disebabkan oleh pembiasan cahaya matahari melalui atmosfer Bumi, yang menyaring cahaya biru dan memungkinkan gelombang merah yang lebih panjang membias ke bulan.

BACA JUGA: Langit Merah “Matahari Jatuh” di Aceh Viral, Ini Faktanya

“Alih-alih menjadi gelap saat GBT, purnama berubah warna jadi memerah. Hanya cahaya merah yang mencapai Bulan karena warna lain telah dihamburkan oleh atmosfer bumi,” jelas Thomas dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/9).

Gerhana ini juga dapat disaksikan secara langsung dari seluruh wilayah Indonesia. Sehingga telah memberikan kesempatan bagi warga Indonesia untuk mengamati langit malam dengan sempurna, tanpa menggunakan alat khusus.

“Gerhana ini bisa terlihat tanpa bantuan alat, hanya dengan mata telanjang kita sudah bisa menikmatinya. Tentu saja bila ada teleskop dan kamera akan lebih baik lagi untuk mengabadikannya,” ujarnya.

Gerhana Bulan Total Terbagi Menjadi Beberapa Fase

Sementara itu, fenomena GBT ini juga terbagi menjadi beberapa fase. Di antaranya fase penumbral (bayangan lembut yang tidak tampak jelas), gerhana sebagian, dan gerhana total, lalu kembali ke fase gerhana sebagian dan penumbral. Setiap tahapannya, menawarkan nuansa visual yang berbeda dan sangat memukau bagi pengamat langit.

Selain keindahan visual, GBT juga memiliki dimensi edukatif. Thomas mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai bahan belajar astronomi. Keteraturan orbit Bulan mengitari Bumi dan Bumi bersama Bulan mengitari Matahari yang memungkinkan prakiraan waktu kejadian gerhana.

“Ini bukan sekadar tontonan, tetapi momentum untuk mengenal mekanika benda langit, orbit Bulan, dan konfigurasi Bumi, Matahari, Bulan,” tuturnya. Selain itu, kelengkungan bayangan Bumi di bulan membuktikan Bumi yang bulat, bukan datar.

Sejumlah daerah di Asia, Australia, Afrika,  dan Eropa juga menyaksikan GBT ini. Namun, hanya Indonesia dan negara-negara di Asia tenggara dan timur yang dapat menyaksikan secara penuh rangkaian GBT.

Negara-negara lain hanya bisa melihat sebagian fase, entah di awal atau di akhir. Sementara itu, Benua Amerika tidak dapat menyaksikan fenomena ini sama sekali, karena saat itu wilayah tersebut berada dalam waktu siang hari.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top