Jakarta (Greeners) – Pendidikan bukan hanya soal ilmu, tetapi juga menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang. Di tengah arus modernisasi, sekelompok anak muda di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, mendirikan Sekolah Adat Arus Kualan untuk mengajarkan mencintai alam dan budaya Kalimantan kepada generasi muda.
Sejak berdiri pada tahun 2014, sekolah ini telah menggerakkan sebuah sistem pendidikan informal yang berbeda dari kebanyakan. Sekolah Adat Arus Kualan hadir untuk memberi ruang bagi anak-anak belajar dengan cara yang lebih alami, jauh dari batasan-batasan konvensional sekolah pada umumnya. Di sini, alam adalah ruang kelasnya, dan setiap pepohonan, sungai, dan tanah yang dijelajahi menjadi sumber pengetahuan.
Founder Sekolah Adat Arus Kualan, Florentini Delina Winki yang akrab disapa Delly, mengungkapkan bahwa para murid belahar berbagai keterampilan tradisional. Tak hanya sekadar pengetahuan, tetapi juga merupakan warisan hidup yang harus dipertahankan.
Dikelilingi luasnya hutan Kalimantan, mereka banyak belajar tentang pengobatan tradisional, memasak menggunakan bambu, dan mencari sayuran di hutan dengan cara yang bijak. Tak hanya itu, mereka juga bermain permainan tradisional yang menggugah ingatan akan masa lalu. Selain itu, juga mendengarkan cerita-cerita bijak dari orang tua yang masih hidup sebagai bagian dari proses belajar yang tak tertulis.
“Kegiatan kami bersifat non-formal, tanpa beban aturan yang membatasi. Anak-anak bebas datang dengan pakaian apa pun, tanpa kewajiban mengenakan seragam atau membawa tas. Kami ingin mereka merasa nyaman, tanpa tekanan, dan belajar dengan hati yang bebas,” ujar Delly dalam wawancara bersama Greeners.
Dari tahun ke tahun, jumlah anak murid di Sekolah Adat Arus Kualan semakin berkembang. Dari hanya enam orang di tahun 2014, kini mereka telah mengajarkan nilai-nilai tradisional kepada 183 anak di berbagai kampung. Sebuah perjalanan panjang ini membuktikan bahwa meskipun waktu berlalu, semangat untuk menjaga warisan budaya tetap membara di hati setiap generasi.

Belajar mencintai budaya dan alam Kalimantan kepada generasi muda di tengah modernisasi. Foto: Sekolah Adat Arus Kualan
Menari dan Bernyanyi
Selain kegiatan di luar ruangan, para siswa di Sekolah Adat Arus Kualan juga terlibat dalam berbagai kegiatan di dalam ruangan. Mereka mempelajari keterampilan literasi, musik, tari, lagu tradisional, serta membuat kerajinan tangan. Kelas bahasa Inggris dan kegiatan mewarnai juga menjadi bagian dari kurikulum untuk memperkaya pengetahuan dan keterampilan mereka.
Sekolah Adat Arus Kualan menerima anak-anak mulai dari usia 3 hingga 17 tahun. Setelah itu, mereka bisa berperan sebagai fasilitator dalam mengorganisasi kegiatan di sekolah. Anak-anak yang lebih tua juga ikut terlibat dalam proses pembelajaran.
BACA JUGA: Monika Maritjie Kailey, Perempuan Penjaga Kekayaan Alam Kepulauan Aru
Para pengajar di sekolah ini tidak hanya berasal dari warga lokal, tetapi juga banyak relawan internasional, misalnya dari Australia dan Inggris. Meskipun demikian, kegiatan pembelajaran sehari-hari tetap dipimpin oleh pemuda lokal yang masih duduk di bangku SMA.
Selain itu, para tetua adat juga turut berperan penting sebagai pengajar yang menyampaikan cerita-cerita lokal kepada anak-anak. Delly mengungkapkan bahwa Sekolah Adat Arus Kualan menerapkan prinsip “semua orang adalah guru alam raya di sekolah ini”. Setiap individu, baik pengajar maupun alam itu sendiri, memiliki peran dalam mengajarkan nilai-nilai dan pengetahuan kepada generasi muda.

Belajar mencintai budaya dan alam Kalimantan kepada generasi muda di tengah modernisasi. Foto: Sekolah Adat Arus Kualan
Tergerak Pertahankan Budaya
Di balik berdirinya Sekolah Adat Arus Kualan, ada latar belakang yang menggerakkan Delly bersama kakaknya, Plorentina Dessy Elma Thyana. Pada tahun 2014, mereka melihat banyak pemuda di sana yang melanjutkan sekolahnya di kota, sehingga sebagian besar dari mereka merasa kehilangan identitas.
“Dia merasa bahwa sebagai anak kampung yang masih menggunakan bahasa lokal, kami seperti tertinggal dibandingkan anak-anak kota. Kami merasa seolah-olah kami tidak bisa bersaing dengan mereka. Namun, ketika kami kembali ke kampung dan melihat orang tua kami, kami menyadari bahwa mereka memiliki banyak pengetahuan yang luar biasa. Mereka belajar tanpa membaca, mengingat ribuan kata dan obat-obatan tradisional,” tambah Delly.
Dari situlah mereka menyadari bahwa mereka memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh banyak orang kota. Kebudayaan, adat, dan kearifan lokal tempat tinggalnya adalah hal yang patut mereka banggakan.
“Kami mulai berpikir jika kami tidak melakukan sesuatu, generasi berikutnya mungkin akan kehilangan identitas seiring dengan perkembangan zaman,” ujar Delly.
Dengan demikian, ketika sekolah ini berdiri, Delly bersama kakaknya merasa bangga bisa memberikan kesempatan anak-anak Dayak belajar banyak hal, terutama tentang kebudayaan mereka.
Manfaatkan Gawai
Seiring perkembangannya zaman, pembelajaran kepada anak-anak juga tidak terlepas dari tantangan. Salah satunya penggunaan gawai yang kini menjadi daya tarik utama bagi mereka. Melihat hal ini, Delly akhirnya mencoba pendekatan berbeda dalam proses pembelajaran dengan membuat program pembuatan film dan dokumentasi kearifan lokal.
“Kami mengajarkan anak-anak memanfaatkan handphone mereka, misalnya untuk membuat konten seperti menjadi content creator atau TikTokers,” imbuh Delly.
Meski sebagian anak mulai tertarik, ada juga yang belum. Namun, Delly terus berusaha agar mereka dapat memanfaatkan gawainya dengan cara positif. Hal itu akhirnya terbukti, beberapa anak telah membuat film. Bahkan, baru-baru ini Delly bersama murid-muridnya meluncurkan buku berjudul “Sansangan”, sebuah cerita lokal Dayak Simpakng Kualan.
BACA JUGA: Merangkul Lintas Agama Merawat Bumi, Hening Parlan Raih βPlanet Awardβ
Lewat gawainya, mereka merekam cerita dari orang tua atau nenek mereka, mengetiknya, dan mengirimkannya ke penerbit. Mereka merasa bangga karena nama mereka tercantum sebagai penulis, yang menjadi motivasi besar untuk terus belajar dan berkarya.
Saat ini, anak-anak yang baru saja meluncurkan buku kini sedang menyusun penelitian untuk buku cerita rakyat. Delly juga sedang merencanakan pembangunan gedung sekolah adat yang lebih besar. Ia berharap sekolah adat ini dapat mengenalkan kebudayaan Kalimantan ke dunia.
“Bergerak sendiri itu sulit, tetapi jika kita bergerak bersama, kita lebih mudah mempertahankan kebudayaan kita. Jangan biarkan kebudayaan kita hilang begitu saja. Semoga sekolah ini bermanfaat bagi banyak orang dan membantu melestarikan warisan budaya.”
Hadirnya sekolah adat ini menjadi bagian penting dari upaya Indonesia untuk melestarikan pengetahuan serta nilai-nilai tradisional. Dengan menyediakan sistem pendidikan informal yang mengutamakan budaya lokal, Arus Kualan punya peran besar untuk memastikan generasi muda tetap memahami dan menghargai warisan budaya mereka.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia