Biaya Pembangkitan Naik 48%, PLTU Tua di Indonesia Perlu Dipensiunkan

Reading time: 2 menit
Biaya pembangkitan listrik dari batu bara naik 48%. Foto: Freepik
Biaya pembangkitan listrik dari batu bara naik 48%. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Laporan terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan bahwa biaya pembangkitan listrik dari batu bara, melonjak hingga 48% dalam empat tahun terakhir. Kenaikan tersebut dari Rp637 per kilowatt-hour (kWh) pada 2020 menjadi Rp941 per kWh pada 2024. Pemicu lonjakan biaya pembangkitan adalah infrastruktur PLTU yang semakin usang serta meningkatnya biaya operasional dan pemeliharaan.

Di tengah tekanan kelebihan pasokan listrik, kondisi infrastruktur yang menua, biaya operasional yang terus naik, serta komitmen iklim global, Indonesia menghadapi sinyal kuat untuk mempercepat pensiun PLTU. Terutama, PLTU yang sudah tidak beroperasi secara efisien. Dalam jangka panjang, PLTU-PLTU tua ini justru akan membebani keuangan negara dan PT PLN (Persero).

Lonjakan biaya tersebut turut meningkatkan subsidi dan kompensasi bagi PLN sebesar 24%, dari US$ 9 miliar pada 2023 menjadi US$ 11 miliar pada 2024, angka yang 5% lebih besar dari alokasi anggaran nasional.

Research & Engagement Lead, Indonesia Energy Transition IEEFA, Mutya Yustika mengatakan bahwa Indonesia telah memiliki payung hukum berupa Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengamanatkan penghentian lebih cepat PLTU batu bara. Namun, implementasinya masih lambat.

“Jalur penghentian yang tidak jelas, data aset yang terbatas, dan Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPA) yang kompleks terus menunda penghentian bertahap PLTU,” kata Mutya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (19/11).

Menurut Mutya, PLTU tua juga lebih boros biaya lantaran membutuhkan perbaikan lebih sering dan konsumsi bahan bakarnya tak lagi efisien. Perpanjangan operasi PLTU juga membutuhkan biaya mahal, yakni untuk peningkatan kualitas boiler serta perbaikan pengendalian emisi dan struktur.

“Investasi untuk ini tidak ekonomis. Terutama jika dibandingkan biaya alih fungsi menjadi pembangkit listrik energi terbarukan atau menyetop operasi PLTU sepenuhnya,” ujarnya.

Model Bisnis untuk Percepat Pensiun PLTU

Laporan IEEFA juga merekomendasikan berbagai model bisnis untuk mempercepat penghentian operasi PLTU milik PLN, tanpa harus membebani keuangan negara. Pertama, model divestasi memungkinkan PLN keluar dari aset batu bara dengan mengalihkannya pada investor swasta. Namun, nilai aset yang rendah dan minat investor yang terbatas tanpa adanya insentif menjadi kelemahan skema ini.

Kemudian, yang kedua yaitu model KPBU membuka peluang bagi PLN untuk berbagi risiko dan pemanfaatan aset jaringan listrik tanpa harus mengalihkan kepemilikan atau mengeluarkan investasi besar di awal.

Di sisi lain, PLTU swasta dapat mengeksplorasi dua skema pembiayaan campuran (blended finance). Skema ini dapat diinisiasi oleh lembaga keuangan swasta maupun multilateral.

ACEN South Luzon Thermal Energy Corporation (SLTEC) telah berhasil menerapkan model tersebut di Filipina. Inisiatif pensiun sukarela tersebut didorong oleh pengembang swasta dengan memanfaatkan modal internal dan reposisi strategis.

Sementara contoh pembiayaan campuran yang dipimpin multilateral seperti  di PLTU Cirebon 1, yakni proyek pensiun batu bara didukung oleh mitra internasional dengan menggabungkan pembiayaan konsesional dan reformasi kebijakan.

Peran Strategis Danantara dalam Akselerasi Transisi Energi PLN

Menurut Mutya, Danantara juga memiliki peran dalam menyukseskan transisi dari PLTU ke pembangkit energi terbarukan, terutama bagi aset yang PLN miliki.

Danantara dapat mendorong optimalisasi portofolio PLN dengan memimpin pensiun atau pengalihan fungsi PLTU. Di antaranya melalui identifikasi aset yang memenuhi syarat, standardisasi jalur pensiun, dan memastikan prinsip-prinsip transisi yang adil.

Selain itu, Danantara juga dapat menjadi platform kredibel bagi pembiayaan campuran dan investasi berbasis kinerja. Hal tersebut dapat secara proaktif melibatkan bank pembangunan multilateral, lembaga keuangan iklim, dan investor global.

“Ada peluang untuk mengalihkan aset batu bara lama ke platform solusi energi masa depan tanpa perlu mengeluarkan biaya modal. Hal ini mengubah narasi dari ‘pensiun PLTU sebagai biaya transisi energi’ menjadi ‘pensiun PLTU sebagai peluang’. Terutama jika dipadukan dengan kerangka regulasi yang jelas dan dukungan pemerintah,” tegas Mutya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top