Desakan Perubahan UU Kehutanan Menguat di NTT

Reading time: 2 menit
Desakan perubahan UU kehutanan menguat di NTT. Foto: Walhi
Desakan perubahan UU kehutanan menguat di NTT. Foto: Walhi

Jakarta (Greeners) – Masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) sepakat untuk mendukung perubahan  Undang-Undang (UU) Kehutanan secara total. Hal itu untuk menyelesaikan konflik tenurial yang ada di NTT, khususnya di Pulau Sumba. Bagi mereka, NTT membutuhkan perubahan UU Kehutanan yang baru. Hal itu untuk bisa menjawab persoalan sosial-ekologis hari ini dan mendatang di tengah situasi krisis iklim yang semakin parah.

Kelompok masyarakat tersebut terdiri dari masyarakat adat, masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumba. Mereka menilai UU Kehutanan nomor 41 Tahun 1999 telah terbukti gagal secara filosofis, sosiologis, dan yuridis untuk menjawab kelestarian hutan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat di NTT.

Desakan untuk perubahan total UU Kehutanan tersebut mereka sampaikan dalam resolusi “Suara dari Pulau Sumba: Ubah Total UU Kehutanan dan Segera Sahkan UU Masyarakat Adat”. Aliansi Selamatkan Hutan Adat di NTT yang menyusun dan mendeklarasikan resolusi tersebut.

Deklarasi tersebut mereka sampaikan dalam diskusi publik bertema  “Urgensi Revisi Total Undang-Undang Kehutanan untuk Perlindungan Nusa Tenggara Timur”. Diskusi tersebut berlangsung pada 28 Agustus 2025 oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Timur sebagai rangkaian pra-Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup Indonesia (PNLH) ke XIV di Pulau Sumba.

Menurut salah satu anggota Walhi NTT, Triawan Umbu Uli Mehakati, pengelolaan berbasis pengetahuan adat bisa menjadi solusi bijak mengelola sumber daya alam, termasuk perlindungan hutan. Menurut dia, harusnya hal itu terakomodasi dalam revisi UU Kehutanan.

Bagi Triawan, hal tersebut sangat mendasar sehingga tidak bisa hanya revisi beberapa pasal saja. Harus ada perubahan total UU Kehutanan. Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya pengesahan Undang-undang Masyarakat Adat.

“Jika undang-undang ini telah disahkan, maka revisi total undang-undang Kehutanan nanti bisa menyinkronkan substansi pengaturannya dengan UU Masyarakat Adat,” kata Triawan dalam keterangan tertulisnya.

Perubahan UU Kehutanan sebuah Keharusan

Sementara itu, desakan mengubah UU Kehutanan bukan tanpa alasan. Menurut akademisi dari Universitas Wira Wacana Sumba, perubahan UU Kehutanan ini merupakan keharusan untuk meluruskan makna Hak Menguasai Negara. “Karena hingga saat ini negara selalu berlindung pada pasal ini,” kata Wira.

Selain itu, lanjutnya, perubahan total UU Kehutanan ini juga dilakukan agar mampu menjawab dinamika sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, serta kebutuhan di masa depan.

“Negara merasa punya hak atas tanah termasuk kawasan hutan. Padahal, hak menguasai negara secara jelas dibatasi dengan wewenang mengatur, mengurus, dan menyelengarakan, bukan memiliki,” ungkapnya.

Wira menambahkan, negara memakai hak itu untuk merusak hutan melalui pemberian izin-izin skala besar dan program-program yang merusak hutan. Misalnya, rencana program 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi. “Saya harus bilang bahwa negara lah pelaku utama pengerusakan hutan,” imbuhnya.

UU Kehutanan Gagal Lindungi Kelestarian Hutan

Kegagalan UU Kehutanan juga menjadi alasan utama kenapa pengubahan total undang-undang ini menjadi sangat mendesak. Manager Kampanye Hutan  dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian menyampaikan bahwa secara sosiologis, filosofis, dan yuridis, undang-undang ini gagal menjawab kesejahteraan rakyat dan kelestarian hutan.

“UU Kehutanan gagal mengakui pemaknaan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal terhadap hutan. Bagi mereka, hutan bukan sekadar kumpulan pohon atau sumber kayu. Hutan adalah ruang hidup yang menyatu dengan identitas, spiritualitas, dan kesejahteraan. Namun, UU Kehutanan dan penyelenggara negara mendefinisikan hutan dalam kacamata teknokratis,” katanya.

Ia juga menguraikan persoalan penetapan kawasan hutan yang menghasilkan banyak sekali konflik tenurial. Penetapan kawasan hutan tidak berbasis survei etnografi, pemetaan partisipatif, atau dialog berbasis pengakuan sebagai syarat utama dalam perencanaan kehutanan.

“Secara Yuridis, UU Kehutanan compang-camping secara sistem hukum. Ia tidak mempertimbangkan putusan hasil peninjauan kembali yang Mahkamah Konstitusi  keluarkan, seperti definisi hutan dan hak masyarakat. Karena itu, tidak cukup hanya revisi, butuh UU Kehutanan baru,” tutupnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top