Air Hujan Jakarta Mengandung Partikel Mikroplastik Berbahaya

Reading time: 3 menit
Ilustrasi air hujan Jakarta. Foto: Freepik
Ilustrasi air hujan Jakarta. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap bahwa air hujan di Jakarta mengandung partikel mikroplastik berbahaya. Temuan ini menjadi peringatan serius bahwa polusi plastik tidak hanya mencemari laut dan tanah, tetapi juga telah menyebar ke atmosfer.

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Reza Cordova menjelaskan bahwa penelitian yang berlangsung sejak 2022 menunjukkan adanya mikroplastik dalam setiap sampel air hujan di ibu kota. Partikel-partikel plastik mikroskopis tersebut terbentuk dari degradasi limbah plastik yang melayang di udara akibat aktivitas manusia.

“Mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka,” jelas Reza di Jakarta, Kamis (17/10).

Reza menjelaskan, mikroplastik yang mereka temukan umumnya berbentuk serat sintetis dan fragmen kecil plastik. Terutama polimer seperti poliester, nilon, polietilena, polipropilena, hingga polibutadiena dari ban kendaraan. Rata-rata, peneliti menemukan sekitar 15 partikel mikroplastik per meter persegi per hari pada sampel hujan di kawasan pesisir Jakarta.

Menurut Reza, fenomena ini terjadi karena siklus plastik kini telah menjangkau atmosfer. Mikroplastik dapat terangkat ke udara melalui debu jalanan, asap pembakaran, dan aktivitas industri, kemudian terbawa angin dan turun kembali bersama hujan. Proses ini dikenal dengan istilah atmospheric microplastic deposition.

“Siklus plastik tidak berhenti di laut. Ia naik ke langit, berkeliling bersama angin, lalu turun lagi ke bumi lewat hujan,” tambahnya.

Kekhawatiran Air Hujan Mengandung Mikroplastik

Menurut Reza, temuan ini menimbulkan kekhawatiran karena partikel mikroplastik sangat kecil. Bahkan, ukurannya lebih halus dari debu biasa, sehingga dapat terhirup manusia atau masuk ke tubuh melalui air dan makanan.

Plastik juga mengandung bahan aditif beracun seperti ftalat, bisfenol A (BPA), dan logam berat yang dapat lepas ke lingkungan ketika terurai menjadi partikel mikro atau nano. Di udara, partikel ini juga bisa mengikat polutan lain seperti hidrokarbon aromatik dari asap kendaraan.

“Yang beracun bukan air hujannya, tetapi partikel mikroplastik di dalamnya karena mengandung bahan kimia aditif atau menyerap polutan lain,” kata Reza.
Meski masih butuh penelitian lebih lanjut, studi global menunjukkan bahwa paparan mikroplastik dapat menimbulkan dampak kesehatan serius. Misalnya, stres oksidatif, gangguan hormon, hingga kerusakan jaringan. Dari sisi lingkungan, air hujan bermikroplastik berpotensi mencemari sumber air permukaan dan laut, yang akhirnya masuk ke rantai makanan.
Reza menilai, gaya hidup urban modern menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya mikroplastik di atmosfer. Dengan populasi lebih dari 10 juta jiwa dan kendaraan mencapai 20 juta unit, Jakarta menghasilkan limbah plastik dalam jumlah besar setiap hari.
“Sampah plastik sekali pakai masih banyak, dan pengelolaannya belum ideal. Sebagian dibakar terbuka atau terbawa air hujan ke sungai,” katanya.

Dorong Solusi, Kuatkan Riset

Dengan adanya temuan ini, BRIN mendorong langkah konkret lintas sektor untuk mengatasi permasalahan mikroplastik yang mencemari atmosfer. BRIN menilai perlu penguatan riset serta pemantauan kualitas udara dan air hujan secara rutin di kota-kota besar. Selain itu, pengelolaan limbah plastik di hulu juga perlu diperkuat. Ini termasuk pengurangan penggunaan plastik sekali pakai dan peningkatan fasilitas daur ulang.

BRIN juga menekankan pentingnya mendorong industri tekstil agar menerapkan sistem filtrasi pada mesin cuci untuk menahan pelepasan serat sintetis. Upaya tersebut perlu dibarengi dengan edukasi kepada publik mengenai dampak mikroplastik dan pentingnya perubahan perilaku.

Reza mengajak masyarakat untuk mengurangi penggunaan plastik, memilah sampah, serta tidak membakar limbah sembarangan. “Kesadaran masyarakat bisa menekan polusi mikroplastik secara signifikan,” ujarnya.

Menurutnya, hujan yang kini mengandung partikel plastik merupakan refleksi dari perilaku manusia terhadap bumi. “Langit Jakarta sebenarnya sedang memantulkan perilaku manusia di bawahnya. Plastik yang kita buang sembarangan, asap yang kita biarkan mengepul, sampah yang kita bakar karena malas memilah semuanya kembali pada kita dalam bentuk yang lebih halus, lebih senyap, tapi jauh lebih berbahaya,” tutup Reza.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top