Bandung Perlu Tentukan Arah Pengelolaan Sampah Tanpa Solusi Semu

Reading time: 3 menit
Bandung perlu menentukan arah pengelolaan sampah tanpa solusi semu. Foto: Dini Jembar Wardani
Bandung perlu menentukan arah pengelolaan sampah tanpa solusi semu. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Bandung Raya hingga saat ini masih menghadapi krisis dalam pengelolaan sampah. Kebijakan nasional yang mendorong penutupan tempat pembuangan akhir (TPA) dengan sistem open dumping, termasuk TPA Sarimukti, menambah tantangan bagi pemerintah daerah dalam mencari arah pengelolaan sampah.

Kementerian Lingkungan Hidup menginstruksikan agar TPA Sarimukti yang masih menggunakan sistem open dumping tutup dalam waktu 12 bulan. TPA Sarimukti, yang saat ini melayani wilayah Bandung Raya seperti Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat, menjadi salah satu yang terdampak.

Kepala Bidang LPB3 Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung, Salam Faruq menyebutkan meski 50 persen sampah masih diangkut ke TPA, upaya pengurangan terus dilakukan. Di antaranya melalui penguatan TPST, bank sampah, hingga pemberdayaan pemulung.

Saat ini baru sekitar 30 persen RW yang mengelola sampah secara mandiri. Namun, target mencapai 800 RW pada akhir tahun. Di sisi lain, Salman juga menyoroti tantangan tata kelola di lapangan, termasuk pengelolaan TPS yang seringkali dikuasai oleh pihak non resmi.

“Ke depan, harapannya jumlah reduksi sampah bisa berkurang. Kami ada konsep baru, yakni kumpul-angkut-olah-musnah-manfaatkan, dengan catatan residu tetap ke TPA. Rencana aksi tidak bergantung ke TPA,” jelas Salman dalam sebuah diskusi publik di Bandung.

Sebelumnya, TPA ini juga mengalami kebakaran hebat pada Agustus 2023. Kebakaran tersebut menyebabkan lebih dari 8.000 ton sampah menumpuk dan mengganggu layanan dasar warga.

Kondisi persampahan di Kota Bandung saat ini menunjukkan total timbulan harian sebesar 1.496 ton, setara dengan 262 rit per hari, dengan sampah rumah tangga sebagai penyumbang terbesar, dan dominasi sampah organik mencapai 60% (data SIPSN 2024).

Kapasitas TPA Sarimukti sendiri sudah melebihi batas. Ritase pengangkutan dari Kota Bandung dipaksa untuk turun dari 174 rit/hari menjadi 140 rit/hari. Dari total timbulan sampah, 53,5% masih terangkut ke TPA, 22,2% berhasil dikurangi, dan 24% tidak terkelola.

Insinerator dan RDF Solusi Semu

Pendekatan pemusnahan sampah lewat teknologi insinerator dan RDF yang kini banyak daerah terapkan, termasuk Bandung Raya. Hal itu mendapatkan kritikan. Menurut Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati, mengungkapkan bahwa penggunaan insinerator berisiko tinggi bagi kesehatan dan lingkungan.

Ia mengingatkan bahwa insinerator adalah teknologi lama sejak awal 1900-an, namun tetap dipromosikan tanpa proses validasi yang memadai.

“Standar Technology Readiness Level untuk menilai kesiapan teknologi kini dihilangkan. Sementara standar emisi dioxin terus dilonggarkan, dan pengukurannya hanya dilakukan lima tahun sekali,” ujarnya.

Yuyun juga menyoroti bahwa dampak kesehatan dari insinerator jauh lebih besar dibanding TPA. Biaya kesehatan akibat insinerator diperkirakan mencapai 132 dolar per ton sampah. Jumlah ini tiga kali lipat dari TPA, dengan risiko tinggi terhadap gangguan hormon, kanker, dan kesehatan reproduksi akibat paparan dioxin.

“Di Indonesia, limbah abu pembakaran tergolong limbah B3, tapi belum diatur jelas. Bahkan, sampel daging dan jeroan sapi di sekitar TPA terbukti mengandung dioxin,” jelasnya.

Menurut Yuyun, RDF juga bukan solusi karena hanya mengubah bentuk sampah menjadi pelet yang tetap dibakar dan menghasilkan emisi beracun. Ia menegaskan bahwa membangun insinerator atau RDF di setiap kelurahan hanya akan memperluas paparan racun ke masyarakat.

Padahal, lanjutnya, mandat UU Pengelolaan Sampah Nomor 18 Tahun 2008 sangat jelas menegaskan minimisasi, pengurangan sampah di sumber, dan hirarki sampah. Bahkan melarang setiap orang membakar sampah yang tidak layak teknis, serta melarang memasukkan limbah.

Perkuat Sistem Zero Waste di Bandung

Pengelolaan sampah organik seperti food waste dan garden waste juga harus menjadi perhatian. Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) David Sutasurya mengatakan apabila masalah sampah ini bisa dikelola dengan benar, permasalahan sampah bisa terselesaikan.

Namun, sayangnya, masalah mendasar yang masih terjadi saat ini, sampah tersebut masih tercampur dengan sampah anorganik. Sehingga membahayakan petugas dan menghasilkan kompos yang tidak layak.

“YPBB dengan sistem semi volunteer dapat mengelola sampah sebanyak 39%-70% sampah yang dikelola di setiap wilayah. Dengan model yang sudah ada, perlu ada dukungan dari pemerintah yang perlu melakukan scale up, yang mereplikasi sistem zero waste city,” tambahnya.

Menurutnya, jika sistem zero waste dan guna ulang bisa pemerintah jalankan secara konsisten bisa lebih menghemat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bahkan menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan insinerator.

David menegaskan bahwa model ini terbukti efektif di beberapa wilayah dan dapat segera diterapkan lebih luas. Apalagi Kota Bandung sudah memiliki dasar hukum berupa perda tentang pemilahan sampah.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top