Jakarta (Greeners) – Target energi baru dan terbarukan (EBT) dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060 adalah 75,6 gigawatt (GW) pada 2035. Untuk mencapainya, Indonesia perlu mempercepat pengembangan energi surya dan angin. Hal ini melalui perencanaan strategis dan pemantauan ketat agar target pengembangan energi bersih dapat terwujud.
Menurut laporan singkat terbaru dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), tenaga surya menjadi opsi terbaik untuk memastikan pencapaian target 75 GW lebih cepat dari jadwal.
Percepatan ini juga sangat penting agar proyek-proyek prospektif dengan kapasitas total 45 GW, yang tercatat oleh Global Energy Monitor (GEM), dapat terealisasi. Sehingga, Indonesia dapat mencapai target pengembangan energi bersih sesuai waktu yang ditetapkan.
Dari total 45 GW, setidaknya terdapat 16,5 GW proyek tenaga surya prospektif di Indonesia. Angka ini lebih dari lima kali lipat dari yang tercantum dalam JETP CIPP, yang sebesar 3,1 GW. Selain itu, angka ini juga 30% lebih tinggi dari target RUKN untuk tahun 2030, yang sebesar 12,8 GW.
BACA JUGA: BRIN Kembangkan PLTS Terapung Mobile Pertama di Indonesia
Analis CREA dan rekan penulis analisis ini, Katherine Hasan menyatakan bahwa dengan meluncurkan, memantau, dan mungkin mempercepat pengembangan proyek-proyek prospektif tersebut, kapasitas energi terbarukan Indonesia bisa meningkat hingga empat kali lipat dalam dekade mendatang.
“Hal ini bahkan melampaui target RUKN pada 2030. Lalu, memastikan Indonesia untuk mencapai target di tahun-tahun selanjutnya, di mana capaian pengembangan EBT terus meningkat,” kata Katherine lewat keterangan tertulisnya, Selasa (4/2).
Tingkatkan Tenaga Angin
Sementara itu, pengembangan energi angin di Indonesia menghadapi tantangan, karena proyek prospektif yang tercatat oleh GEM hanya mencapai 2,5 GW. Angka itu jauh lebih rendah dari target kapasitas 4,8 GW dalam RUKN pada 2030.
Kesenjangan antara potensi tenaga angin dan penerapan optimal dari segi biaya bahkan lebih besar dan mendesak untuk segera diatasi. Oleh karena itu, Indonesia perlu meningkatkan upaya dalam pengembangan energi angin. Selain itu, penting untuk menciptakan iklim investasi yang dapat menarik pembiayaan.
Menurut Katherine, dengan memetakan proyek pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang secara realistis dapat terlaksana sebelum 2030, Indonesia berpotensi melampaui target yang tercantum dalam RUKN.
Proyek prospektif 45 GW yang telah teridentifikasi saat ini sedang berada pada berbagai tahap, termasuk konstruksi, pra-konstruksi, dan pengumuman. Namun, baru sekitar 30,6 GW yang memiliki jadwal mulai yang telah ditetapkan. Adapun sisa 13,6 GW, yang mencakup 10,7 GW energi surya, 1,8 GW tenaga angin, dan 1,1 GW panas bumi, masih memerlukan penetapan tahun mulai pelaksanaannya.
Jika proyek-proyek ini terealisasi, kapasitas pembangkit listrik Indonesia akan meningkat menjadi 58,5 GW. Jumlah tersebut sekitar 77% dari target RUKN sebesar 75,6 GW pada 2035. Namun, untuk mencapai target tersebut, Indonesia masih membutuhkan tambahan sekitar 18 GW dari kapasitas saat ini yang sebesar 13,5 GW. Oleh karena itu, tambahan kapasitas ini harus jadi prioritas dan segera masuk dalam perencanaan nasional.
Energi Fosil Signifikan
CREA juga mencatat bahwa porsi energi fosil dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) masih sangat signifikan. Meskipun Presiden Prabowo menargetkan Indonesia bebas fosil pada 2040, RUKN 2024-2060 justru menggariskan bahwa 41% dari produksi listrik akan berasal dari pembangkit listrik berbasis batu bara. Kemudian, sebesar 17% dari gas.
Hal tersebut bertujuan untuk memenuhi permintaan energi sebesar 1.140 TWh pada tahun 2040. Sementara, energi terbarukan hanya diperkirakan menyumbang 36%.
Pada 2060, target porsi energi terbarukan mencapai 50%. Sisanya berasal dari nuklir, PLTU co-firing biomassa, dan pembangkit listrik tenaga gas. Kedua jenis pembangkit tersebut dilengkapi dengan teknologi penangkapan karbon (CCS).
Namun, hal ini bertentangan dengan pemodelan skenario bebas energi fosil yang hemat biaya dalam Laporan Penilaian Keenam (AR6) Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Laporan tersebut mengecualikan seluruh pembangkit listrik berbasis fosil, serta energi dari amonia, hidrogen, dan laut.
BACA JUGA: Terminal Eksekutif Merak dan Bakauheni Gunakan Solar Panel
Menurut Analis Utama CREA, Lauri Myllyvirta, RUKN sangat kurang berinvestasi dalam energi terbarukan yang fluktuatif, seperti tenaga surya dan angin. Hal ini berbeda dengan jalur hemat biaya dalam laporan IPCC AR6 untuk sistem listrik Indonesia yang bebas fosil pada 2060. Sebaliknya, RUKN justru lebih banyak berinvestasi pada solusi yang lebih mahal dan penerapannya lebih lambat.
Lauri menegaskan bahwa hal ini dapat menghambat tercapainya visi bebas fosil Presiden Prabowo. Bahkan, membatasi peluang investasi energi bersih dalam dekade-dekade yang akan datang.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia