Revisi Perpres 112 Dinilai Buka Peluang Lebih Banyak PLTU

Reading time: 2 menit
Revisi Perpres 112 berpotensi buka peluang lebih banyak PLTU. Foto: Freepik
Revisi Perpres 112 berpotensi buka peluang lebih banyak PLTU. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Pemerintah kini tengah menyusun draf revisi Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Namun, revisi peraturan tersebut dinilai semakin melemahkan komitmen transisi energi Presiden Prabowo Subianto.

Menurut Yayasan CERAH, dalam draf yang disampaikan pada konsultasi publik, revisi payung hukum justru menambah pengecualian pembangunan PLTU. Hal ini berpotensi menghambat pengembangan energi terbarukan lebih masif dan melemahkan upaya transisi energi.

Policy Strategist CERAH, Naomi Devi Larasati, menilai bahwa sejumlah perubahan dalam rancangan revisi Perpres justru membuka peluang lebih besar bagi pembangunan PLTU. Padahal, kebijakan tersebut seharusnya mempercepat transisi menuju energi terbarukan.

Mengacu pada dokumen konsultasi publik, ada rencana perubahan Pasal 3 Perpres No. 112 Tahun 2022. Perubahan tersebut menambahkan pengecualian pembangunan PLTU baru dengan alasan menjaga keandalan sistem dan kemandirian energi.

Padahal, beleid yang masih berlaku sudah mengecualikan pembangunan PLTU yang tercantum dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Pengecualian juga berlaku bagi PLTU terintegrasi industri untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Perubahan ini kontradiktif dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto yang ingin mencapai 100% energi terbarukan pada 2035. Adanya pengecualian, meskipun dengan syarat komitmen penurunan emisi, akan tetap menambah kapasitas PLTU. Sehingga, struktur energi nasional masih bertumpu pada batu bara. Bagaimana transisi bisa berjalan jika sumber energi yang seharusnya berkurang justru terus mendapatkan ruang?” ujar Naomi dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/11).

Menurut Naomi, syarat lain pengecualian pembangunan PLTU baru yang dalam revisi beleid tersebut yakni harus mendukung Net Zero Emission (NZE) 2060. Hal itu sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN).

“Namun, klausul ini tidak disertai peta jalan teknis kapan PLTU tersebut harus turun produksi atau pensiun. Lalu, tidak ada target penurunan emisi bertahap. Tidak ada juga instrumen pengawasan dan sanksi yang jelas jika target tidak tercapai,” tambah Naomi.

Revisi Mengarah ke Solusi Palsu Transisi Energi

Dalam rencana revisi tersebut, syarat komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) minimal 35% dalam 10 tahun. Namun, teknologi pengurangan yang tertulis dalam revisi ini justru mengarah ke solusi palsu transisi energi. Di antaranya pembangkit listrik tenaga (PLT) hibrida yang mengkombinasikan energi fosil dan energi terbarukan, co-firing biomassa, carbon offset, dan bauran energi terbarukan.

Menurut Policy & Program Manager CERAH, Wicaksono Gitawan, PLT Hibrida merupakan celah yang sengaja dimasukkan sebagai loophole revisi Perpres ini. Jika melihat ke RUPTL 2025-2034, ada beberapa PLTU Hibrida yang sudah direncanakan, seperti PLTU Mulut Tambang Kalselteng-3.

“Karena on-grid, penambahan PLT Hibrida ini pasti memperlambat masuknya pembangkit energi terbarukan,” ungkap Wicaksono.

Selain itu, lanjut Wicaksono, perluasan pengecualian pembangunan PLTU baru akan menyulitkan berkembangnya energi terbarukan. Berkaca pada warisan kebijakan energi dari era sebelumnya, program 35 Ribu MW yang diluncurkan pada 2015 menyebabkan kelebihan pasokan listrik di jaringan Jawa-Bali dari PLTU.

“Imbasnya, sistem kelistrikan nasional terkunci pada infrastruktur batu bara dalam jangka panjang yang mengakibatkan rendahnya pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia,” lanjutnya.

Menurut Wicaksono, rencana revisi Perpres No.112 Tahun 2022 menambah daftar panjang dokumen resmi kebijakan energi nasional yang tidak sejalan dengan komitmen 100% energi terbarukan Presiden Prabowo. Hal ini termasuk Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan RUPTL 2025-2034. Bahkan, dokumen terbaru rancangan investasi Just Energy Transition Partnership (JETP) yang masih dalam konsultasi publik, justru mengubah strategi pensiun dini menjadi repurposing PLTU dengan pengurangan emisi.

Ia menegaskan bahwa Presiden Prabowo perlu mengkaji ulang kebijakan energi yang disusun oleh kabinetnya. Hal itu menjadi penting agar komitmen yang disampaikannya di forum internasional, tidak menjadi sekedar janji.

“Dorongan nyata untuk meningkatkan bauran energi terbarukan harus diwujudkan dengan kebijakan yang mendukung. Jika terealisasi, Presiden Prabowo bisa membuat gebrakan dengan menjadikan Indonesia pemimpin transisi energi dunia,” tambahnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top