Jakarta (Greeners) – Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia Tiza Mafira menyampaikan bahwa sistem guna ulang (reuse) merupakan solusi nyata, yang telah dibangun oleh masyarakat sipil yang berjuang di akar rumput selama lebih dari satu dekade demi mengurangi polusi plastik. Hal ini ia sampaikan dalam sesi Solutions Day World Economic Forum (WEF), di Jenewa, Swiss, Minggu (3/8).
Tiza membuka pernyataannya dengan menyoroti adanya perpecahan dalam tujuan akhir di Perjanjian Plastik Global (Global Plastic Treaty). Di satu sisi terdapat blok negara yang mendukung pendekatan dari hulu, dengan melarang produksi plastik dan bahan kimia berbahaya yang ada di dalamnya.
Sementara di sisi lain, beberapa negara justru hanya ingin fokus pada pengelolaan sampah di hilir. Contohnya daur ulang dan pengelolaan sampah, tanpa menyentuh akar persoalan dari dampak negatif produksi plastik.
Dalam forum tersebut, Tiza juga menegaskan bahwa masyarakat sipil tidak menunggu negara. Mereka telah lebih dulu bergerak membangun sistem pengganti plastik sekali pakai. Berbagai komunitas dan pelaku usaha kecil menengah serta inovator di beberapa negara, juga telah secara aktif mengambangkan model reuse dalam kehidupan sehari-hari.
“Masyarakat tidak menunggu. Kami sudah membangun sistem pengganti plastik sekali pakai,” ungkapnya.
BACA JUGA: Perjanjian Plastik Global Perlu Perkuat Solusi Guna Ulang
Indonesia, misalnya, yang telah secara resmi meluncurkan Asosiasi Guna Ulang Indonesia (AGUNI), sebuah organisasi kolektif yang terdiri dari 10 pelaku usaha dengan konsep reuse di skala lokal. AGUNI telah mengembangkan berbagai sistem, mulai dari isi ulang produk hingga layanan sewa wadah makan dan minum.
Lebih luas lagi, gerakan serupa juga telah terbentuk di kawasan Asia melalui Asia Reuse Consortium yang mencakup lima negara. Bahkan, dalam skala global telah dirintis gerakan Global Reuse Alliance yang akan menggabungkan enam jaringan regional.
Perlu Perhatian terhadap Reuse di Perjanjian Plastik
Tiza memaparkan perlunya perhatian lebih terhadap reuse dalam teks Perjanjian Plastik Global. Ia kemudian menyampaikan sejumlah usulan konkret. Di antaranya target wajib skala nasional untuk mengadopsi sistem reuse, pelarangan plastik sekali pakai, dan penghapusan subsidi pada pelaku produksi plastik.
Tiza menambahkan bahwa perlu penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) yang lebih tinggi. Ini untuk produk plastik yang berisiko tinggi bagi lingkungan.
BACA JUGA: Pembahasan Isu Kesehatan Mendesak dalam Perjanjian Plastik Global
Alih-alih mendukung sistem guna ulang, Tiza menegaskan bahwa pendanaan saat ini masih dialokasikan ke tingkat hierarki terendah dalam pengelolaan sampah. Salah satunya adalah pembakaran sampah (waste to energy).
“Padahal, sistem guna ulang telah terbukti dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan. Namun, pelaku pada sektor ini masih minim dukungan finansial,” tambahnya.
Ia juga menekankan bahwa pendakatan reuse bukan hanya sekadar mendorong individu untuk membawa tumbler sendiri. Namun, sistem guna ulang mesti ikut diterapkan dalam model bisnis seperti “container as a service”. Dalam hal ini, produsen bertanggung jawab untuk mengambil kembali, mencuci, dan mendistribusikan kembali produk mereka.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































