Studi: Transisi Kendaraan Listrik Cegah 700 Ribu Kematian Akibat Polusi Udara

Reading time: 2 menit
Studi Clean Air Asia menyebut transisi kendaraan listrik 100 persen dapat mencegah 700 ribu jiwa kematian dini pada 2060. Foto: Freepik
Studi Clean Air Asia menyebut transisi kendaraan listrik 100 persen dapat mencegah 700 ribu jiwa kematian dini pada 2060. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Studi dari Clean Air Asia mengungkap bahwa transisi ke kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) hingga 100% berpotensi mencegah 36% kematian dini atau setara 700 ribu jiwa pada 2060. Namun, perlu penguatan kebijakan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) untuk mempertahankan pertumbuhan adopsi tinggi, mengingat keterbatasan daya beli masyarakat.

Direktur Clean Air Asia, Ririn Radiawati Kusuma mengungkapkan bahwa dampak Indonesia mempertahankan pasar kendaraan berbahan bakar fosil, cukup signifikan bagi masyarakat. Tanpa perubahan kebijakan transportasi, pertumbuhan kendaraan bermotor akan meningkatkan emisi mencapai lebih dari 160 ribu metrik ton dan konsentrasi PM2,5 mencapai 85 µg/m³ pada 2060.

Pada tahun yang sama, paparan PM2,5 dapat menyebabkan sekitar 1,8 juta kematian dini per tahun serta peningkatan kasus penyakit pernapasan. Kematian dini tersebut juga berdampak pada hilangnya sumber utama penghasilan keluarga dan memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat secara nasional luas.

Hasil riset Clean Air Asia menunjukkan, transisi ke kendaraan listrik dapat secara signifikan memangkas emisi dan konsentrasi PM2,5. Bahkan, semakin tinggi tingkat adopsi kendaraan listrik, semakin banyak kematian dini akibat polusi udara yang dapat dicegah.

“Dengan adanya adopsi EV yang ambisius dan agresif hingga 100%, 36% kematian dini dapat kita cegah, setara dengan 700 ribu jiwa pada 2060. Proyeksi ini masih menghitung bahwa sumber listriknya masih menggunakan batu bara. Bayangkan, jika ada transisi energi bersih, maka manfaatnya akan lebih besar,” kata Ririn dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/12).

Tren Kendaraan Listrik Belum Cukup Signifikan

Meski demikian, tren adopsi kendaraan listrik saat ini belum cukup signifikan mengubah struktur transportasi nasional. Head Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho mengungkapkan bahwa struktur daya beli mobil nasional terkunci dalam segmen yang sangat rendah.

Mayoritas rumah tangga hanya mampu membeli mobil dengan harga di bawah Rp200 juta. Hal ini masih didominasi oleh mobil berbahan bakar fosil. Artinya, kesenjangan daya beli menjadi salah satu penghambat penetrasi kendaraan listrik.

“Oleh sebab itu, jika pemerintah ingin mendorong transisi ke kendaraan listrik yang lebih cepat, seharusnya ada dukungan kepada masyarakat Indonesia secara finansial. Salah satunya dengan melanjutkan insentif,” kata Andry.

Andry menambahkan, salah satu sumber pembiayaan untuk insentif tersebut adalah cukai emisi. Pengenaan cukai emisi, dapat meningkatkan harga relatif kendaraan beremisi tinggi sehingga mempersempit kesenjangan harga dengan kendaraan listrik. Selain itu, kebijakan ini dapat digunakan untuk membiayai insentif kendaraan listrik tanpa menambah beban fiskal negara.

Simulasi INDEF menunjukkan, negara berpotensi memperoleh minimal Rp37,7 triliun per tahun dari cukai emisi. Pengenaan cukai ini berdasarkan intensitas emisi kendaraan dengan asumsi cukai emisi mulai dari 10% hingga 30% terhadap harga jual kendaraan.

Dengan demikian, pemerintah perlu mereformasi undang-undang barang kena cukai dengan memasukkan aspek lingkungan. Khususnya emisi dari kendaraan bermotor. Kemudian pemerintah juga perlu menetapkan definisi dan metodologi pengukuran emisi yang baku dalam satu standar yang resmi.

Terakhir, pemerintah  perlu mengunci earmarking atau pengalokasian khusus dari penerimaan cukai tersebut. Hal tersebut penting agar masyarakat tidak mempertanyakan penggunaan penerimaan dari cukai ini.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top